Tautan-tautan Akses

Sistem Kekebalan Tubuh Hasil Uji di Laboratorium Dapat Percepat Pengembangan Vaksin


Seorang petugas kesehatan mempersiapkan vaksin selama penyelenggaraan kampanye vaksinasi untuk menanggulangi demam kuning di Rio de Janeiro, Brazil, 25 Maret 2017 (foto: REUTERS/Ricardo Moraes)
Seorang petugas kesehatan mempersiapkan vaksin selama penyelenggaraan kampanye vaksinasi untuk menanggulangi demam kuning di Rio de Janeiro, Brazil, 25 Maret 2017 (foto: REUTERS/Ricardo Moraes)

Teknologi baru memungkinkan para ilmuwan yang sedang menciptakan vaksin baru untuk menanggulangi penyakit menular untuk menguji tingkat efektivitas produk mereka pada model sistem kekebalan tubuh di laboratorium, tanpa harus memasukkan vaksin yang telah ditingkatkan efektivitasnya ke dalam tubuh manusia.

Kalangan peneliti terlah mulai membangun sistem kekebalan tubuh dengan menggunakan sel manusia, dan teknik laboratorium ini bisa membuat percobaan vaksin menjadi lebih cepat, lebih aman, dan lebih murah, menurut para ilmuwan di Amerika Serikat dan Inggris yang terlibat dalam pendekatan yang baru ini. Teknologi ini juga berpotensi untuk digunakan dalam memproduksi antibodi secara massal di laboratorium untuk melengkapi sistem kekebalan tubuh yang nyata yang mengalami gangguan, atau sedang berusaha untuk melawan bibit penyakit seperti Ebola.

Sebuah laporan mengumukan teknik “vaksinasi ekstra di laboratorium” telah dipublikasikan baru-baru ini dalam The Journal of Experimental Medicine, sebuah jurnal kedokteran bergengsi yang dikaji oleh rekan sejawat yang dipublikasikan oleh the Rockefeller University Press. Proyek penelitian ini melibatkan antibodi yang diproduksi untuk menyerang jenis-jenis virus tetanus, HIV, dan influenza.

Memilih jenis-jenis antibodi khusus

Ketika kuman penyakit menyerang tubuh, sistem kekebalan tubuh mengembangkan antibodi yang khusus terhadap kuman penyakit tersebut. Antibodi tersebut menempel pada kuman penyakit dan menandainya untuk kemudian dihancurkan, menginterupsi siklus kehidupan dari kuman penyakit, atau tidak melakukan apapun.

Sebelum adanya teknik yang digunakan saat ini, ketika para ilmuwan mencoba untuk memperoleh sel-sel kekebalan tubuh di laboratorium untuk memproduksi antibodi, sel-sel tersebut akan melakukannya tanpa pandang bulu, memproduksi berbagai macam antibodi, tidak hanya antibodi yang relevan. Sekarang kalangan ilmuwan mampu memperoleh antibodi yang khusus mereka inginkan dengan menggunakan partikel nano yang menghubungkan antigen, bagian aktif dari vaksin, dengan molekul-molekul yang menstimulasi sistem kekebalan tubuh.

“Kami dapat memproduksi sel-sel ini dengan cepat di laboratorium – di sebuah cawan Petri – untuk menjadi sel-sel yang memproduksi antibodi,” ujar peneliti utama dalam laporan yang baru ini, Facundo Batista. “Kemajuan ini cukup penting,” ujarnya kepada VOA, “karena hingga saat ini satu-satunya cara dimana hal ini bisa dilakukan adalah dengan cara memvaksinasi orang.”

Batista adalah satu dari sejumlah ilmuwan yang terlibat dalam studi yang diselenggarkan oleh Ragon Institute, yang didirikan di kawasan Boston oleh para pakar dari Massachusetts General Hospital, Harvard University, dan the Massachusetts Institute of Technology, dengan tujuan untuk bekerja menuju pengembangan vaksin yang efektif untuk menanggulangi HIV/AIDS. Pihak-pihak lain yang berkontribusi pada laporan yang baru ini adalah dari the Francis Crick Institute di London serta berbagai lembaga lainnya.

Teknik yang baru menghemat waktu dan biaya

Teknik laboratorium yang baru ini akan menghemat waktu dan uang. Setelah seluruh perencanaan, pendanaan, dan mendapatkan persetujuan untuk melakukan percobaan vaksin pada tubuh manusia, “paling tidak masih ada tiga tahun dalam kasus skenario terbaik, apabila anda memiliki produk yang sangat menjanjikan,” ujar Matthew Laurens, seorang asisten profesor bidang kedokteran anak dan kedokteran di the University of Maryland yang tidak ikut serta dalam studi ini. Proses yang berkepanjangan sekarang dapat dipersingkat hanya dalam hitungan bulan.

Teknik ini dapat menghilangkan, atau paling tidak sangat mengurangi percobaan yang membutuhkan waktu lama dan berbiaya tinggi, serta lebih sedikit subyek relawan yang akan terpapar pada vaksin yang berpotensi untuk membahayakan.

Kemudahan dalam menguji vaksin baru ini juga akan memungkinkan kalangan ilmuwan untuk memiliki kesempatan lebih banyak untuk mengutak-atik vaksin dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja vaksin. Dengan pemahaman yang lebih baik, mereka mungkin dapat mengembangkan vaksin yang lebih canggih yang dapat efektif dalam menanggulangi lebih banyak kuman penyakit – kuman penyakit yang berbeda sebagai hasil dari variasi genetik. Kemampuan ini penting untuk menanggulangi kecepatan evolusi kuman penyakit serpti HIV, virus yang dapat menyebabkan AIDS.

Di luar dari uji vaksin, sistem kekebalan tubuh di laboratorium dapat mengarah pada metode yang jauh lebih baik guna memproduksi antibodi secara massal. Kalangan ilmuwan telah mencoba untuk mengenali antibodi yang dapat menyerang seluruh jenis virus Ebola; teknologi yang baru ini akan dapat meningkatkan peluang pengembangan terapi yang efektif.

Laurens, yang mempelajari pengembangan vaksin malaria di Maryland, menyebut penelitian tersebut menarik.

“Ini akan memungkinkan vaksin yang memiliki potensial untuk diuji lebih dini dan lebih cepat,” ujarnya kepada VOA, “dengan hasil yang lebih cepat dan pelaporan hasilnya apakah untuk meneruskan penelitian dengan menggunakan vaksin ini atau menyampaikan kepada kalangan ilmuwan kalau mereka harus kembali lagi dari awal dan mencari vaksi potensial lainnya.” [ww]

XS
SM
MD
LG