Tautan-tautan Akses

Sidang ICJ: Afrika Selatan Bandingkan Perlakuan Israel Seperti Saat Apartheid


Menlu Afrika Selatan Naledi Pandor (kiri) dan Duta Besar Afrika Selatan untuk Belanda Vusimuzi Madonsela berbicara di Mahkamah Internasional PBB (ICJ) di Den Haag, Belanda.
Menlu Afrika Selatan Naledi Pandor (kiri) dan Duta Besar Afrika Selatan untuk Belanda Vusimuzi Madonsela berbicara di Mahkamah Internasional PBB (ICJ) di Den Haag, Belanda.

Afrika Selatan membandingkan perlakuan Israel terhadap warga Palestina seperti kondisi yang mereka alami pada masa apartheid. Utusan Afrika Selatan menyampaikan hal ini dalam sidang di Mahkamah Internasional PBB terkait legalitas kebijakan Israel menduduki wilayah yang sedianya menjadi negara Palestina selama lebih dari 57 tahun.

Perwakilan Afrika Selatan menyampaikan pandangan mereka pada hari kedua sidang dengar pendapat di Mahkamah Internasional PBB di Den Haag, Belanda. Sidang ini merupakan bagian dari permintaan Majelis Umum PBB untuk mendapat pandangan yang tidak mengikat dari sejumlah negara tentang legalitas kebijakan Israel di wilayah pendudukan Palestina.

Duta Besar Afrika Selatan di Belanda Vusimuzi Madonsela mengatakan kepada panel yang beranggotakan 15 hakim internasional itu bahwa mereka merasakan, melihat, "Kami sebagai orang Afrika Selatan merasakan, melihat, dan mendengar hingga ke belahan hati kami, berbagai kebijakan dan praktik-praktik rezim Israel yang tidak manusiawi dan diskriminatif sebagai bentuk yang lebih ekstrem dari apartheid yang dilembagakan terhadap orang kulit hitam di negara kami. Secara kebetulan, sistem apartheid diberlakukan di negara kami sejak tahun 1948 hingga tahun 1994."

Vusimuzi menegaskan, "Afrika Selatan memikul kewajiban khusus, baik kepada rakyatnya sendiri maupun masyarakat internasional, untuk memastikan bahwa di mana pun praktik-praktik apartheid yang mengerikan dan menyinggung perasaan terjadi, hal itu harus diserukan dan diakhiri dengan segera. Dan pelaku pelanggaran keji norma-norma hukum internasional ini seharusnya dimintai pertanggungjawaban.”

Namun, Israel menolak tuduhan apartheid oleh Afrika Selatan. Negara yang biasanya menganggap PBB dan pengadilan internasional tidak adil dan bias ini tidak memberikan pernyataan dalam sidang pengadilan dunia tersebut. Namun pertengahan tahun lalu Israel mengirimkan pengajuan tertulis yang menyatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke pengadilan oleh Majelis Umum PBB bersifat prasangka dan "gagal untuk mengakui hak dan kewajiban Israel melindungi warganya," menangani masalah keamanan Israel atau mengakui perjanjian Israel-Palestina untuk menegosiasikan isu-isu, termasuk "status permanen wilayah, pengaturan keamanan, pemukiman, dan perbatasan."

Israel merebut Tepi Barat, Yerusalem Timur dan Jalur Gaza saat perang Timur Tengah tahun 1967. Palestina menginginkan ketiga wilayah tersebut sebagai negara merdeka.

Israel menganggap Tepi Barat sebagai wilayah yang disengketakan, yang masa depannya harus diputuskan melalui perundingan. Namun sementara perundingan berlangsung maju mundur, Israel membangun pemukiman di seluruh Tepi Barat, yang banyak di antaranya menyerupai pinggiran kota dan kota-kota kecil yang telah berkembang. Permukiman tersebut merupakan rumah bagi lebih dari 500.000 pemukim Yahudi. Sementara sekitar tiga juta warga Palestina telah lebih dulu tinggal di wilayah tersebut.

Israel kemudian mencaplok Yerusalem Timur dan menganggap seluruh kota itu sebagai ibu kotanya.

Perwakilan Afrika Selatan lainnya, Pieter Andreas Stemmet, mengatakan larangan apartheid dan diskriminasi rasial adalah norma yang ditetapkan dalam hukum internasional, dan menggarisbawahi betapa "penghinaan total dan ketidakhormatan Israel terhadap prinsip-prinsip ini menghasilkan pendudukan yang secara inheren dan fundamental ilegal dalam hal hukum internasional.”

Argumen hukum Afrika Selatan menggemakan argumen yang disampaikan sehari sebelumnya oleh perwakilan Palestina saat enam hari sidang itu dibuka. Pengadilan kemungkinan akan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengeluarkan pendapat penasihatnya.

Sebelumnya Palestina mengatakan dengan mencaplok sebagian besar wilayah yang diduduki, Israel telah melanggar larangan penaklukan wilayah dan hak Palestina untuk menentukan nasib sendiri, serta telah memberlakukan sistem diskriminasi rasial dan apartheid.

Afrika Selatan memiliki sejarah panjang dalam mendukung Palestina. Partai yang memerintah, Kongres Nasional Afrika, telah lama membandingkan kebijakan Israel di Gaza dan Tepi Barat dengan sejarah di negaranya sendiri di bawah rezim apartheid dengan pemerintahan minoritas kulit putih. Rezim yang diskriminatif itu membatasi sebagian besar warga kulit hitam kembali ke "kampung halaman," sebelum berakhir pada tahun 1994.

Hal ini yang mendorong Afrika Selatan mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional, dengan menuduh Israel melakukan genosida dalam serangannya ke Gaza, menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel selatan. Dalam sidang di bulan Januari, Israel dengan tegas menolak tuduhan tersebut. Penasihat hukum Israel, Tal Becker, mengatakan negara itu sedang berperang dalam "perang yang tidak dimulai dan tidak diinginkannya."

Keputusan akhir atas kasus tersebut kemungkinan besar masih akan memakan waktu bertahun-tahun lagi, namun pengadilan telah mengeluarkan perintah awal agar Israel melakukan semua yang dapat dilakukan untuk mencegah kematian, kehancuran, dan tindakan genosida dalam kampanyenya di Gaza. [em/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG