Tautan-tautan Akses

Senat AS: FBI dan Departemen Keamanan Dalam Negeri Abaikan Informasi Intelijen Sebelum Serangan 6 Januari ke Kongres AS


Para anggota kelompok ekstremis Oat Keepers berdiri di area timur Gedung Capitol, di Washington, dalam serangan yang dilancarkan para pendukung Donald Trump pada 6 Januari 2021. (Foto: AP/Manuel Balce Ceneta)
Para anggota kelompok ekstremis Oat Keepers berdiri di area timur Gedung Capitol, di Washington, dalam serangan yang dilancarkan para pendukung Donald Trump pada 6 Januari 2021. (Foto: AP/Manuel Balce Ceneta)

Biro Penyelidik Federal (FBI) dan Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat meremehkan atau mengabaikan “sejumlah besar informasi intelijen” sebelum serangan ke gedung Kongres AS berlangsung pada 6 Januari 2021, menurut ketua panel Senat AS pada Selasa (27/6) saat merilis laporan baru tentang kegagalan intelijen menjelang pemberontakan tersebut.

Laporan itu merinci bagaimana badan-badan itu gagal mengenali dan memperingatkan potensi kekerasan karena beberapa pendukung Donald Trump, yang saat itu masih presiden, secara terbuka merencanakan pengepungan dalam berbagai pesan dan forum online.

Di antara banyak informasi intelijen yang diabaikan yaitu bocoran kepada FBI pada Desember 2020 bahwa anggota kelompok ekstremis sayap kanan Proud Boys berencana untuk berada di Washington, DC, pada saat pengesahan kemenangan Joe Biden dalam pilpres. “Rencana mereka adalah untuk benar-benar membunuh orang,” ungkap laporan itu.

Komite Keamanan Dalam Negeri dan Urusan Pemerintahan Senat AS mengatakan, badan-badan itu juga mengetahui banyak postingan media sosial yang memperkirakan terjadinya kekerasan, yang beberapa di antaranya menyerukan kepada para pendukung Trump untuk “datang dengan bersenjata” dan menyerbu gedung Kongres, alias Capitol, membunuh anggota Kongres, atau “bakar tempat itu sampai rata dengan tanah.”

Senator Michigan Gary Peters, politisi Partai Demokrat yang merupakan ketua komite tersebut, mengatakan bahwa peristiwa itu “sebagian besarnya merupakan kegagalan untuk membayangkan bahwa ancaman Capitol dapat diterobos sebagai (ancaman yang) kredibel,” menggemakan kembali temuan komisi 11 September tentang kegagalan intelijen menjelang serangan teroris ke AS pada 2001.

Laporan yang disusun oleh staf anggota mayoritas panel tersebut mengatakan bahwa komunitas intelijen belum sepenuhnya dikalibrasi ulang untuk fokus pada ancaman terorisme dalam negeri, bukan luar negeri. Para pemimpin intelijen pemerintahan gagal memberitahukan adanya bahaya tersebut “sebagiannya karena mereka tidak bisa membayangkan gedung Capitol AS akan dikuasai oleh perusuh.”

Tetap saja, kata Peters, alasan untuk menolak apa yang disebutnya sebagai “sejumlah besar” informasi intelijen “tidak dapat dijelaskan dengan mudah.”

Meskipun sejumlah laporan lain menyelidiki kegagalan intelijen dalam peristiwa 6 Januari – termasuk laporan bipartisan Senat AS 2021, laporan Komite 6 Januari DPR tahun lalu, dan sejumlah penilaian internal terpisah dari Kepolisian Capitol dan badan pemerintahan lainnya – penyelidikan terbaru yang dilakukan Senat AS merupakan laporan kongres pertama yang khusus berfokus pada tindakan FBI dan Kantor Intelijen dan Analisis Departemen Keamanan Dalam Negeri AS.

Setelah serangan itu, Peters mengatakan bahwa komite itu telah mewawancarai para pejabat kedua lembaga dan menemukan aksi saling tuduh.

“Semua orang harus bertanggung jawab karena semua orang telah gagal,” kata Peters.

Dengan menggunakan email dan wawancara yang dikumpulkan komite Senat dan pihak lain, termasuk dari Komite 6 Januari DPR, laporan itu menjabarkan secara rinci informasi intelijen yang diterima lembaga-lembaga tersebut beberapa minggu menjelang penyerbuan.

Laporan itu menyatakan bahwa tidak terjadi kegagalan dalam upaya mencari barang bukti, namun badan-badan itu “gagal menilai secara utuh dan akurat tingkat keparahan ancaman yang diidentifikasi oleh intelijen tersebut, dan secara resmi menyebarkan panduan kepada mitra penegak hukum mereka.”

Selagi Trump, yang saat itu merupakan capres petahana dari kubu Republik, mengklaim secara keliru bahwa ia telah memenangkan pemilu 2020 dan berusaha membatalkan kekalahannya, dan mengatakan kepada pendukungnya untuk “bertarung habis-habisan” dalam pidatonya di depan Gedung Putih hari itu, ribuan di antara mereka bergerak menuju gedung Kongres AS.

Lebih dari 2.000 perusuh menerobos aparat penegak hukum, menyerang polisi dan menyebabkan kerusakan gedung Kongres senilai $2,7 miliar (sekitar Rp40,5 triliun), menurut laporan Kantor Akuntabilitas Pemerintahan AS awal tahun ini.

Dengan memecahkan jendela dan merusak pintu, para perusuh membuat para anggota Kongres pergi untuk menyelamatkan diri dan menghentikan sementara proses pengesahan kemenangan Joe Biden dalam pilpres.

Bahkan ketika serangan itu terjadi, menurut laporan itu, FBI dan Departemen Keamanan Dalam Negeri AS meremehkan ancaman yang timbul. Di kala Kepolisian Capitol berjuang membersihkan gedung Kongres dari para perusuh, departemen itu “masih kesulitan menilai kredibilitas ancaman terhadap Capitol dan melaporkan intelijennya.” [rd/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG