Tautan-tautan Akses

Santunan Petugas Pemilu yang Meninggal Segera Diberikan


Petugas KPPS sedang menyiapkan surat suara di sebuah TPS di Bogor, 17 April 2019. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)
Petugas KPPS sedang menyiapkan surat suara di sebuah TPS di Bogor, 17 April 2019. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal pada Pemilu 2019 terus bertambah.

Ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Arief Budiman menjelaskan telah mengusulkan anggaran kepada Kementerian Keuangan untuk memberikan santunan kepada petugas KPPS yang meninggal dan sakit. Menurutnya, korban yang meninggal dan sakit akan diverifikasi terlebih dahulu sebelum diberikan santunan. Namun, ia memastikan proses verifikasi tersebut tidak akan menghambat pemberian santunan yang diharapkan sudah dapat dilakukan mulai pekan depan.

"Proses yang dilakukan KPU sudah selesai pembahasannya. Tinggal dipastikan keputusan besaran dan mekanisme penyalurannya. Jadi mudah-mudahan minggu depan. Semua sudah bisa dilakukan proses awalnya," jelas Arief dalam diskusi "Silent Killer Pemilu Serentak 2019" di Jakarta, Sabtu (27/4).

Arief menambahkan besaran santunan untuk petugas yang meninggal yang diusulkan lembaganya sebesar Rp36 juta per orang. Sedangkan yang sakit akan mendapat santunan yang besarannya bervariasi hingga Rp30 juta. Berdasarkan data KPU per Sabtu (27/4/2019), jumlah korban yang meninggal sudah mencapai 272 orang dan yang sakit sebanyak 1.878 orang.

Ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Arief Budiman dan anggota Bawaslu, M Afifuddin, bersama sejumlah politikus saat diskusi "Silent Killer Pemilu Serentak 2019" di Jakarta, Sabtu, 27 April 2019. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Ketua Komisi Pemilihan Umum ( KPU) Arief Budiman dan anggota Bawaslu, M Afifuddin, bersama sejumlah politikus saat diskusi "Silent Killer Pemilu Serentak 2019" di Jakarta, Sabtu, 27 April 2019. (Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Arief Budiman mengatakan belum mau mengevaluasi banyaknya korban meninggal dalam Pemilu 2019. Ia beralasan KPU saat ini masih fokus dalam rekapitulasi suara yang masih berada di tingkat kecamatan. Namun, ia mengakui pelaksanaan pemilu serentak tahun ini berat karena UU Pemilu mengharuskan pemungutan dan penghitungan suara dilakukan pada waktu yang sama, yakni 17 April 2019.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini meminta pemerintah dan DPR agar tidak buru-buru mengambil keputusan cepat terkait pemilu legislative dan presiden secara serentak menyusul jatuhnya banyak korban. Namun, ia mengusulkan agar pemerintah dan DPR terpilih mendatang membentuk kelompok ahli yang terdiri dari ahli politik, hukum dan pemilu untuk mengevaluasi Pemilu 2019.

"Jadi saya kira jangan tergesa-gesa untuk memisahkan antara pemilu DPR dan pemilu presiden. Sekali lagi lakukanlah evaluasi secara menyeluruh, melihat variabel dan sistemnya. Besaran daerah pemilihan dan manajemen teknis tata kelola. Jangan parsial," kata Titi.

Titi menambahkan tim ahli tersebut juga dapat diminta menyusun draf rancangan sistem pemilu ke depan untuk dibahas oleh DPR dan pemerintah. Sehingga konflik kepentingan antar anggota dewan, serta dengan pemerintah tidak terlalu tinggi.

Tanggapan PDI Perjuangan dan Gerindra

Politikus Partai Gerindra yang juga juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade menyetujui usulan Perludem untuk membentuk tim atau kelompok ahli. Namun, kata dia, pihaknya juga berharap beberapa indikasi kecurangan Pemilu 2019 dapat menjadi prioritas utama penyelenggara pemilu saat ini.

Petugas KPPS menghitung surat suara di sebuah TPS di Surabaya, Jawa Timur, 17 April 2019. (Foto: Antara via Reuters)
Petugas KPPS menghitung surat suara di sebuah TPS di Surabaya, Jawa Timur, 17 April 2019. (Foto: Antara via Reuters)

​"Keterlibatan aparat, ada indikasi Kapolda memanggil caleg. Pendukung Pak Prabowo jangan pasang foto Pak Prabowo. Ada indikasi Kapolda dan Kajati untuk mendukung Pak Jokowi. Ada indikasi aparat memanggil kepala desa untuk mendukung petahana. Ini kan tidak mampu diungkap oleh Bawaslu," ujar Andre Rosiade.

Andre mengusulkan agar masa jabatan presiden mendatang cukup 1 kali saja dengan lama 7 tahun. Hal ini menurutnya, untuk mencegah terjadinya kecurangan penggunaan aparat negara oleh presiden untuk memenangkan kembali pada periode kedua.

Berbeda dengan Andre, politikus PDI Perjuangan Effendi Simbolon mengatakan tidak setuju dengan usulan Perludem untuk membentuk tim ahli untuk mengevaluasi Pemilu 2019. Menurutnya, evaluasi tetap dapat dilakukan tanpa adanya tim ahli setelah pengumuman resmi penghitungan suara oleh KPU.

Namun, Effendi juga menyesalkan masih maraknya kecurangan dalam pemilu legislatif 2019. Ditambah lagi, kata dia, hampir semua pihak saat ini kurang memperhatikan pemilu legislatif, jauh dibandingkan dengan pemilu presiden.

"Kita berharap dengan bertahap dan berjenjang khususnya melalui TPS, kecamatan, kabupaten, provinsi akan lebih baik dan selektif. Tapi di sisi lain juga, itu peluang juga bagi pihak yang ingin membeli dan membelanjakan (suara) di situ. Jadi kita khawatir juga," jelas Effendi Simbolon.

Effendi mengisyaratkan partainya akan mengusulkan revisi UU Pemilu pada masa mendatang. Termasuk mengevaluasi ambang batas pencalonan presiden yang menurutnya tidak sesuai dengan semangat pemilu serentak. [sm/em]

Santunan Petugas Pemilu yang Meninggal Segera Diberikan
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:44 0:00

XS
SM
MD
LG