Tautan-tautan Akses

Ribuan Pekerja dari Gaza Diusir Paksa dari Tempat Kerja di Israel


Sebelum konflik, setiap hari ribuan pekerja dari Gaza menyeberangi perbatasan Gaza-Israel "Erez" untuk bekerja di Israel (foto: dok).
Sebelum konflik, setiap hari ribuan pekerja dari Gaza menyeberangi perbatasan Gaza-Israel "Erez" untuk bekerja di Israel (foto: dok).

Ribuan pekerja Gaza diusir secara paksa dari tempat kerja mereka di Israel setelah militan Hamas menyerbu Israel pada Sabtu (7/10) pagi.

Sekitar 600 pekerja yang membawa tas tiba di Ramallah dari tempat kerja mereka di Israel setelah anggota keamanan Israel mengangkut mereka ke pos pemeriksaan di Tepi Barat pada Rabu pagi.

Di tempat penampungan sementara yang disiapkan pemerintah lokal Ramallah, para pekerja Gaza tampak duduk di kasur, terlibat perbincangan, dan berusaha mencari ketenangan di tengah situasi yang memprihatinkan.

Jumlah pekerja yang mencari bantuan terus meningkat, dan semakin banyak pula orang yang tiba di tempat penampungan sementara tersebut.

Laila Ghannam, Gubernur Ramallah, menyatakan keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya jumlah pekerja Gaza yang mencari perlindungan. Dia mencatat bahwa pekerja yang terdaftar sudah mencapai 600 orang. Diperkirakan akan ada lebih banyak pekerja yang datang.

Ghannam membandingkan kedatangan pengungsi yang tiba-tiba ini dengan tantangan yang dihadapi selama pandemi COVID-19. Menurutnya, ini menciptakan “situasi yang luar biasa.” Dia menyoroti perlunya mendokumentasikan cedera yang dialami pekerja Gaza akibat tentara Israel yang menahan mereka, dan pada saat yang bersamaan segera memberi perawatan kepada mereka yang terkena dampak.

“Penjajah berusaha menindas setiap warga Palestina, karena telah terjadi serangan terhadap sejumlah pekerja, termasuk kerusakan pada gigi dan cedera,” kata Ghannam.

Raed Al-Moghribi, seorang penduduk Gaza yang bekerja di Israel, menceritakan pertemuan menyedihkannya dengan tentara Israel. Meskipun memiliki izin kerja yang sah, orang-orang Gaza ditahan dan menjadi sasaran kekerasan fisik.

Al-Moghribi menggambarkan pemukulan yang mengakibatkan luka di mulut dan giginya. Dia menyampaikan betapa sakitnya ketika itu sehingga ia tidak bisa makan selama tiga hari.

“Kami sedang bekerja dan semuanya baik-baik saja, dan tiba-tiba mereka (tentara Israel) mendatangi kami dan menahan kami, meskipun kami memiliki izin kerja yang sah di Israel. Ketika kami memberi tahu mereka bahwa kami berasal dari Gaza, mereka mulai memukuli kami,” katanya.

Meski demikian, ia berharap situasi bisa membaik.

Tim medis hadir untuk membantu, memeriksa para pekerja dan memastikan mereka mendapatkan perawatan yang mereka butuhkan. Pos kesehatan keliling, yang dibentuk untuk memberi perawatan segera, menyoroti betapa parah kondisi para pekerja dan perlunya perhatian segera.

Khader Achour, penduduk Gaza lainnya yang bekerja di Israel, mengungkapkan kerinduannya untuk kembali ke keluarganya di Gaza. Namun, dia khawatir, ketika pulang, dia akan kesulitan mengenali rumahnya karena kerusakan parah yang disebabkan oleh serangan udara Israel. “Rumah kami telah dibongkar. Saya yakin kalau saya pulang, saya tidak akan bisa menemukan lokasi persis di mana rumah itu dulu berdiri, karena area tersebut telah hancur dan rata dengan tanah.”

Meskipun pilu, Achour menyerahkan penderitaannya kepada Tuhan. Ia percaya bahwa Tuhan akan membimbingnya melewati masa-masa sulit ini.

Militan Hamas menyerbu Israel pada Sabtu pagi, membunuh ratusan warga di rumah-rumah dan jalan-jalan dekat perbatasan Gaza dan memicu baku tembak di kota-kota Israel untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun. Hamas dan kelompok militan lain di Gaza menyandera sekitar 150 tentara dan warga sipil, menurut Israel.

Perang, yang telah merenggut sedikitnya 2.200 nyawa di kedua pihak, diperkirakan akan meningkat.

Serangan akhir pekan yang disebut Hamas sebagai pembalasan atas memburuknya kondisi warga Palestina di bawah pendudukan Israel telah mengobarkan tekad Israel untuk menghancurkan kekuasaan kelompok tersebut di Gaza. Baku tembak baru di perbatasan utara Israel dengan militan di Lebanon dan Suriah pada Selasa menunjukkan risiko perluasan konflik regional.

Hamas dicap sebagai organisasi teroris oleh Barat dan Israel. Sebaliknya, Hamas menolak mengakui negara Israel dan menentang perjanjian perdamaian sementara Oslo yang dirundingkan Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina pada pertengahan tahun 1990an.

Hamas memenangkan pemilihan parlemen Palestina pada 2006, dan menguasai penuh Gaza pada 2007, setelah mengusir pasukan yang setia kepada saingan politiknya, Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang diakui secara internasional. [ka/lt]

Forum

XS
SM
MD
LG