Tautan-tautan Akses

Rektor UI Bantah Obral Gelar Doktor Kehormatan


Raja Saudi Arabia, Abdullah menerima gelar gelar Doctor Honoris Causa bidang kemanusiaan dan Iptek dari Universitas Indonesia.
Raja Saudi Arabia, Abdullah menerima gelar gelar Doctor Honoris Causa bidang kemanusiaan dan Iptek dari Universitas Indonesia.

Rektor Universitas Indonesia, Profesor Gumilar Somantri mengatakan gelar Doctor Honoris Causa untuk Raja Arab Saudi tidak akan dicabut, karena sudah sesuai prosedur.

Rektor Universitas Indonesia, Profesor Gumilar Rusliwa Somantri, membantah jika Universitas Indonesia dikatakan “mengobral” gelar Doctor Honoris Causa (Doktor kehormatan), karena segalanya sudah dipikirkan prosedur dan mekanisme-nya. Termasuk pula siapa-siapa saja yang dianggap berhak menerima gelar tersebut.

Ia menyampaikan hal tersebut kepada pers, di gedung Rektorat Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin siang, untuk menanggapi berbagai tudingan yang diarahkan kepada Universitas Indonesia setelah memberikan gelar Doktor Kehormatan kepada Raja Abdullah bin Abdul Aziz Al Saud beberapa waktu lalu.

Meskipun telah meminta maaf kepada publik melalui media massa, gelar Doktor Kehormatan bagi Raja Abdullah itu juga tidak akan dicabut.

“Bayangkan UI itu sudah 20 tahun itu hampir tidak memberikan (gelar) Doctor Honoris Causa, padahal bagi World Class University (Universitas Kelas Dunia) pemberian gelar Doctor Honoris Causa adalah bagian dari kontribusi kampus ini menghargai orang-orang yang berjasa. Siapa bilang UI obral-obral (gelar)?," ujar Rektor Universitas Indonesia ini.

Dia kemudian menambahkan, "Siapa yang menyangkal Taufik Abdullah sebagai sejarawan yang hebat, atau Taufiq Ismail yang menggetarkan kita lewat puisi-puisinya. Carl Heinz itu dokter (asal Belanda) yang banyak membantu pengembangan kedokteran di Indonesia dan kiprahnya diakui di Belanda. Dan Presiden (Turki) Abdullah Gul itu memperoleh Doctor Honoris Causa di beberapa universitas penting yang ranking-nya jauh di atas UI, prestasinya memajukan Turki menjadi kekuatan ekonomi dunia itu luar biasa,” papar Gumilar Somantri lagi.

Hingga tahun 2011, UI telah memberikan gelar Doktor Kehormatan kepada sembilan orang yang dianggap punya kontribusi penting dalam masing-masing bidang. Dalam hal ini, kata Gumilar, UI memiliki Komite Pengarah yang diketuai oleh Profesor Ichramsjah A. Rahman.

Namun demikian, untuk menghindari polemik serupa di masa datang, Gumilar dan Komite Pengarah telah sepakat akan berkomunikasi dengan Majelis Wali Amanat (MWA) UI.

Gumilar Somantri menambahkan, “Nah ini belum ada aturannya di masa lalu dan ini akan kita coba untuk pelajari. Dalam risalah rapat MWA pernah ada tetapi waktu itu mungkin belum sempat kita bicarakan dan saya pikir ini yang perlu diperbaiki ke depan.”

Sementara, Profesor Emil Salim, yang mewakili Majelis Wali Amanat berpendapat pemberian gelar Doktor Kehormatan sepenuhnya merupakan kewenangan rektor. Kalaupun kelak menuai protes atau kecaman, maka rektor berhak melakukan klarifikasi atau menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat.

“Kalau saya baca (di media) katanya dia (rektor Gumilar) sudah meminta maaf, maka itu menjadi urusan rektor, sebab itu dia ambil keputusan bukan dengan MWA. Ia tidak perlu mengundurkan diri (dari jabatan Rektor), untuk apa? Maksud saya, jangan membawa masalah-masalah yang tidak sesuai dengan aturan yang ada,” kata Emil Salim.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah memprotes keras keputusan UI untuk memberikan gelar tersebut kepada Raja Abdullah, yang ia katakan tidak mengenal HAM dan demokrasi bagi para buruh migran asal Indonesia.

Anis mengatakan, rektor UI harus menjelaskan apa latar belakang diberikannya gelar tersebut, yang ia anggap tidak layak dan tidak lazim. Sebaliknya, rektorat UI menilai Raja Abdullah berhasil memajukan Kerajaan Arab Saudi , serta menampilkan wajah dan citra peradaban Islam yang moderat.

XS
SM
MD
LG