Tautan-tautan Akses

Rasminah, Pahlawan Isu Kawin Anak yang Kini Berjuang Sendiri Melawan Tumor Ganas


Rasminah, salah satu tokoh yang membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan revisi UU Perkawinan No.1/1974 soal usia kawin perempuan. (Foto: VOA)
Rasminah, salah satu tokoh yang membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan revisi UU Perkawinan No.1/1974 soal usia kawin perempuan. (Foto: VOA)

Masih ingat Rasminah? Perempuan sederhana dari desa terpencil di Indramayu, Jawa Barat ini bersama dua perempuan korban kawin anak lainnya, dan dibantu Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), berhasil membuat Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan revisi Undang-Undang (UU) Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 soal usia kawin perempuan.

Permohonan judicial review atau hak uji materiil itu baru dikabulkan setelah diajukan untuk kedua kalinya. Setelah perdebatan alot, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya sepakat untuk mengubah pasal soal batas minimal usia kawin perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Selepas revisi UU Perkawinan itu, semua elemen bergerak cepat melakukan beragam upaya untuk mencegah terus terjadinya perkawinan anak di bawah umur, lewat penyusunan kebijakan “Perlindungan Khusus Anak Terpadu Berbasis Masyarakat” (PATBM). Termasuk di dalam kebijakan tersebut adalah strategi penurunan kekerasan terhadap anak dan pekerja anak, penguatan kelembagaan, penyediaan layanan hingga ke tingkat akar rumput, dan tentunya kampanye.

Namun, setelah itu tidak ada yang tahu jika Rasminah kembali berjuang sendirian. Kali ini bukan untuk isu kawin anak, tetapi untuk hidupnya. Tepatnya untuk kesembuhannya.

Rasminah bersama salah satu anaknya. (Foto: VOA)
Rasminah bersama salah satu anaknya. (Foto: VOA)

Diserang Tumor Ganas, Suami Rasminah: “Tak Semua Biaya Ditanggung BPJS”

Rasminah, yang beberapa kali dipaksa kawin cerai sebelum menginjak usia 18 tahun, kini berjuang untuk sembuh dari tumor ganas yang bersarang di kaki kanannya. Kaki kanan itu telah lumpuh karena digigit ular ketika ia bekerja di sawah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Peristiwa nahas tersebut terjadi ketika Rasminah masih mengarungi bahtera rumah tangga dengan suami kedua yang kemudian meninggalkannya.

Menurut Darwini, aktivisi KPI Jawa Barat yang selalu mendampinginya, “Awalnya kakinya berdarah akibat terjatuh di rumah. Saran dokter, kakinya diamputasi sedikit karena posisi kaki rentan mengalami pendarahan akibat tulang yang menonjol. Setelah proses operasi selesai, ia harus kontrol ke RSUD setiap minggu."

"Pada masa pemulihan inilah, Rasminah menghubungi saya kembali dan mengatakan ada benjolan di bagian selangkangan atas. Semula saya pikir efek dari operasi, tetapi ketika kami kontrol ke dokter dan diambil sampel dari benjolan itu, diketahui ada tumor ganas," imbuh Darwini.

Rasminah (kanan) didampingi suaminya Runata. (Foto: Courtesy/Keluarga Rasminah)
Rasminah (kanan) didampingi suaminya Runata. (Foto: Courtesy/Keluarga Rasminah)

Hal senada disampaikan Runata, suami terakhir Rasminah yang mendampinginya hingga saat ini. “Pas diambil sampel dan diketahui tumor ganas, langsung dirawat. Apalagi tumor itu diketahui menyebar. Kata dokter, banyak anak tumornya, tapi belum ketahuan ujungnya dari mana,” ujar Runata.

Runata, yang kini merawat lima anak, termasuk dari perkawinan Rasminah sebelumnya, mengatakan sang istri sempat mengalami depresi. “Dia nyopot-nyopotin selang infus dan lain-lain waktu dirawat di rumah sakit. Ah, buat apa ini semua, katanya, sambil nangis. Kami bujuk-bujuk bahwa kalau ini semua supaya ia cepat sembuh. Alhamdulillah akhirnya mau, mungkin karena lihat anak-anak. Jadi akhirnya mulai sembuh sedikit-sedikit…. Ini juga berkat bantuan Mbak Wini di KPI, dan Yayasan Selendang Perempuan," papar Runata.

KPI Jawa Barat Bantu Sediakan Rumah Singgah

Pihak rumah sakit menyarankan agar Rasminah dirawat intensif. Namun, mengingat keterbatasan biaya pengobatan yang ditanggung oleh BPJS, pihak keluarga memutuskan merawatnya di rumah, sambil melanjutkan proses sinar dan kemoterapi.

“Soalnya yang ditanggung BPJS kan operasinya saja. Sementara perlu pampers (popok), juga obat-obatan lain yang harus dibeli sendiri. Jumlahnya mungkin kecil bagi orang-orang, tapi mahal bagi kami. Jadi kami bawa pulang. Itu pun masih harus kontrol dan sinar (radioterapi.red). Tapi karena jauhnya perjalanan dari rumah sakit di Cirebon ke rumah kami di pelosok Indramayu, jadinya kami tinggal di rumah singgah,” ujar Runata.

Rumah singgah yang dimaksudnya adalah rumah sewa yang disediakan KPI Jawa Barat untuk Rasminah bersama keluarga tinggal selama proses perawatan di luar rumah sakit.

“Kami sewakan tempat untuk singgah selama menjalani radioterapi di RS Ciremai di Cirebon, supaya tidak pulang-pergi setiap hari dari Indramayu ke Cirebon. Kami juga menyewakan mobil untuk membawa Mbak Rasminah ke rumah sakit,” tambah Darwini.

Lebih jauh Darwini mengatakan sebenarnya Ketua DPRD Indramayu Saefuddin telah ikut membantu, baik sejak Rasminah berhasil menggolkan peningkatan usia di UU Perkawinan, maupun saat ia diserang tumor ganas.

Rasminah bersama Ketua DPRD Indramayu Saefuddin (kanan). (Foto: Courtesy/Kel Rasminah)
Rasminah bersama Ketua DPRD Indramayu Saefuddin (kanan). (Foto: Courtesy/Kel Rasminah)

Alhamdulillah kami punya Ketua DPRD yang sensitif, meskipun tidak cukup kuat untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah (pemda). Pemda belum bergerak sama sekali. Padahal Yayasan Selendang Puan, yang saya dirikan untuk menangani isu-isu sosial dan kemanusiaan, sudah berkoordinasi dengan Dinas Sosial terkait bantuan. Tetapi mereka bilang harus koordinasi dengan pihak desa dan kecamatan. Diputar-putar. Makanya kini kami galang dukungan,” ujarnya.

Nasib Pejuang Perempuan

Belum banyak aktivis perempuan dan badan nirlaba yang bersama Rasminah ikut memperjuangkan peningkatan usia kawin mengetahui kondisi Rasminah terkini. “Innalillahi wa inna ilaihi rooji'un, ya Allah saya baru tahu,” ujar Yanti Sriyulianti di Yayasan Sigap Kerlip Indonesia (YSKI) ketika diberitahu. Ia menyampaikan keprihatinan dengan tidak adanya perhatian dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan kondisi pejuang perempuan itu.

“Perjuangan panjang Rasminah yang mendorong perubahan pasal usia kawin anak perempuan dari 16 tahun menjadi 19 tahun, yang bermanfaat bagi anak-anak perempuan kita, ternyata tidak cukup menggugah kemauan Pemkab Indramayu dan wakil rakyat untuk setidaknya meringankan beban yang dideritanya. Saya mengetuk hati Pemerintah Indonesia, terutama Pemkab Indramayu dan Jawa Barat, untuk membantu pengobatannya hingga sembuh,” ujarnya.

Rasminah bersama Darwini, aktivis KPI Jawa Barat yang selalu mendampinginya. (Foto: Courtesy/Kel Rasminah)
Rasminah bersama Darwini, aktivis KPI Jawa Barat yang selalu mendampinginya. (Foto: Courtesy/Kel Rasminah)

Sebagaimana Darwini di KPI Jawa Barat, Yanti di YSKI juga mengajak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dan perwakilannya di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk mengumpulkan informasi dan mendata para pejuang perempuan, dan memastikan agar mereka mendapat perlindungan, hidup sehat dan sejahtera.

Sementara itu, tak ada yang diinginkan Rasminah dan keluarga selain kesembuhan.

“Istri saya itu hanya ingin sembuh. Ingin bisa pulih lagi dan melihat anak-anaknya besar, sekolah tinggi, jangan seperti dia. Nggak bisa sekolah karena dulu dikawinkan,” ujar Runata, suami Rasminah yang saat diwawancarai berada di sisi pejuang perempuan kuat asal Indramayu itu. [em/ah]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG