Tautan-tautan Akses

Putus Asa, Anak-anak Rohingya Tinggalkan Rumah dengan Perahu


Anak-anak Muslim Rohingya di kamp pengungsi Da Paing di utara Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar (2/4). (AP/Khin Maung Win)
Anak-anak Muslim Rohingya di kamp pengungsi Da Paing di utara Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar (2/4). (AP/Khin Maung Win)

Perempuan dan anak-anak mencakup 5-15 persen dari yang diperkirakan 75.000 penumpang yang telah pergi sejak kerusuhan pecah pada pertengahan Juni 2012.

Dua anak berdiri di pantai, di ujung dunia yang hanya mereka kenal, tercabik antara daratan dan lautan.

Mereka tidak dapat pulang ke desa kecil di Rakhine di barat daya Myanmar, yang berpenduduk Muslim, karena telah dibumihanguskan oleh kelompok Buddhis. Di tengah asap dan kekacauan, adik kakak itu terpisah dari kelaurga. Dan setelah mencari selama tujuh bulan, mereka kehilangan harapan dapat menemukan siapapun hidup-hidup.

Akhirnya Mohamad Husein, 15, dan adik perempuannya Senwara Begum, 9, mengumpulkan uang di sakunya dan naik ke kapal, berdesak-desakkan dengan etnis Rohingya lainnya.

Ketika kapal didorong, mereka tidak sadar mereka ada di antara ratusan, mungkin ribuan, anak-anak yang bergabung dengan salah satu dari eksodus kapal terbesar di dunia sejak Perang Vietnam. Yang mereka tahu tidak aman tetap tinggal di negara yang tidak menginginkan mereka.

Mereka berdua tidak tahu ke mana mereka menuju, dan Senwara menangis, berpikir kapan ia bisa melihat orangtua mereka lagi.

Dari Malaysia sampai Australia, negara-negara yang dengan mudah dicapai kapal telah memberlakukan kebijakan dan praktik untuk menjamin Muslim Rohingya tidak sampai ke negara mereka. Dari mulai mendorong mereka kembali ke laut, tempat mereka berisiko dijual sebagai budak, sampai menghalangi para pengungsi ini untuk menginjak tanah mereka.

Meski ada permintaan dari PBB, yang menganggap Rohingya termasuk kelompok-kelompok yang paling dianiaya di dunia, banyak pemerintahan di wilayah ini yang menolak menandatangani konvensi dan protokol pengungsi, yang berarti mereka tidak wajib membantu. Negara-negara itu takut pengadopsian persetujuan internasional dapat menarik gelombang imigran yang tidak dapat mereka dukung.

Namun kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan negara-negara itu menolak para anggota minoritas agama yang ada dalam periode paling rentan, bahkan saat semakin banyak perempuan dan anak-anak bergabung dengan kepergian massal yang semakin meningkat.

"Rasa putus asa dan kehilangan harapan meningkat," ujar Vivian Tan dari badan pengungsi PBB.

Sekitar 1,3 juta Rohingya hidup di negara bermayoritas penduduk Buddhis yang berjumlah 60 juta itu, dan hampir semuanya tinggal di negara bagian Rakhine. Myanmar menganggap mereka imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh, meski beberapa keluarga telah tinggal di sana selama bergenerasi lamanya.

Sekarang ini semakin banyak orang yang melarikan diri, banyak diantaranya dengan kapal kargo yang masif. Perempuan dan anak-anak mencakup 5-15 persen dari yang diperkirakan 75.000 penumpang yang telah pergi sejak kerusuhan pecah pada pertengahan Juni 2012.

Perjalanannya sangat berbahaya: Hampir 2.000 Rohingya telah tewas dan hilang dalam dua tahun terakhir. Anak-anak yang tidak ditemani orang dewasa seperti Senwara dan abangnya paling berisiko.

Para penumpang, termasuk Mohamad, pernah disiksa militer Myanmar yang mendekati perahu mereka dan menghina agama mereka. Pemerintah Myanmar menyangkal bahwa angkatan laut menyita kapal pada periode tersebut.

Kapal tersebut kemudian rusak, dan akhirnya mereka terdampar di Thailand, yang merupakan pemberhentian pertama bagi hampir semua orang Rohingya yang melarikan diri lewat laut, tapi negara itu tidak memberi mereka suaka. Sampai beberapa tahun lalu, negara itu memiliki kewajiban mendorong kapal migran ke laut dan meninggalkan mereka, seringkali tanpa atau dengan sedikit makanan, air atau bahan bakar. Namun setelah foto-foto penyiksaan oleh militer terhadap satu kapal pada 2009, pemerintah Thailand mengubah kebijakannya.

Pemerintah Thailand memberi pasokan dasar untuk para migran sebelum mendorong mereka kembali ke laut. Namun, beberapa kali mereka mengarahkan kapal ke para pedagang manusia yang menahan para pencari suaka sebagai jaminan, atau dijual sebagai budak.

Setelah kapal didorong kembali ke laut, Senwara sempat sakit diare. Namun esoknya, mereka ditolong oleh para nelayan Aceh.

Simpati pada Rohingya

Indonesia telah bersimpati pada Rohingya dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyurati Myanmar supaya mengakhiri krisis. Namun Indonesia belum membuka pintunya pada orang Rohingya, hanya mengizinkan mereka tinggal sementara di tempat penahanan dan penampungan yang penuh sesak, dan tidak seorang pun yang dapat bekerja secara legal.

Pemerintah Indonesia juga takut menampung mereka akan mengarah pada gelombang migran. Jumlah orang Rohingya yang ditampung di Indonesia meningkat dari 439 pada 2012 menjadi 795 pada 2013. Sekitar 20 persen anak-anak yang tiba bepergian seorang diri, mnurut data PBB.

Mohamad sempat terciduk dalam kerusuhan antara orang Rohingya dan Buddhis di tempat penampungan dan dipenjara, namun kemudian dibebaskan. Ia kemudian pergi ke Malaysia untuk mencari pekerjaan dan menghindari masalah.

Senwara tinggal seorang diri sekarang.

Bagi pengungsi Rohingya, Malaysia adalah tujuan yang lebih disukai. Sekitar 33.000 orang sekarang terdaftar di sana dan jumlah yang sama masih belum terdokumentasi, dan semakin banyak yang ditahan.

Di Malaysia, mereka tidak dapat mendapatkan perawatan kesehatan atau pendidikan, hanya bergantung pada bantuan PBB dan kelompok dana. Tapi biasanya mereka cepat mendapat pekerjaan ilegal sebagai kuli bangunan atau buruh pabrik.

Mohamad mendapat pekerjaan sebagai penyapu jalanan di Alor Setar dan tinggal di sebuah hotel kecil dengan 17 orang pria Rohingya lainnya dalam satu kamar. Ia sering merasa bersalah karena meninggalkan adiknya di Indonesia.

Sementara itu, Senwara akhirnya diangkat oleh orangtua asuh di Medan. Namun ia seringkali berduka karena teringat orangtua dan abangnya.

Orangtua Senwara baru tahu anaknya selamat delapan bulan setelah desa mereka dibakar. Bersama dua bayi mereka, Anowar Begum dan Mohamad Idris berakhir di kamp pengungsi di luar ibukota Rakhine, Sittwe.

Lewat teknologi, 22 bulan setelah berpisah, Mohamad di Malaysia, Senwara di Medan dan orangtua mereka dapat berkomunikasi lewat Skype.

"Saya baik-baik saja," ujar Senwara. "Saya bersama keluarga yang merawat saya. Mereka mencintai saya. Saya belajar banyak, bahasa Inggris dan agama."

Ayahnya berpesan agar anak-anaknya menjaga diri. Ia ingin mereka berkumpul kembali namun mengatakan untuk saat ini lebih aman bagi mereka berpisah.

Senwara masih belum paham mengapa desanya dibakar. Yang ia tahu, rasanya ia tidak akan bertemu orangtuanya lagi. (AP)
XS
SM
MD
LG