Tautan-tautan Akses

Presiden SBY: IMF Bukan Selalu Solusi Terbaik dalam Krisis Keuangan


PM Perancis François Fillon dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers bersama, usai pertemuan bilateral di Istana Merdeka (1/7).
PM Perancis François Fillon dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers bersama, usai pertemuan bilateral di Istana Merdeka (1/7).

Hal ini disampaikan Presiden Yudhoyono menanggapi krisis keuangan di Eropa, usai pertemuan dengan PM Perancis François Fillon di Jakarta.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat, tidak selamanya bantuan Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi solusi yang terbaik dalam penanganan krisis keuangan di satu negara, terutama ketika IMF mulai mendiktekan kebijakannya.

Berkaca pada pengalaman Indonesia pada krisis keuangan tahun 1997-1998, Dana Moneter Internasional (IMF) justru lebih banyak mendikte kebijakannya untuk Indonesia, tanpa mempertimbangkan situasi ekonomi nasional di masa itu. Indonesia belajar banyak dari kesalahan ini, dan berusaha mengelola keuangannya dengan lebih baik.

Demikian yang disampaikan Presiden menanggapi pertanyaan pers atas krisis keuangan di Eropa, di Istana Merdeka, Jumat, usai pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Perancis, François Fillon.

Presiden Yudhoyono mengatakan, “Pengalaman kita dulu waktu IMF mendiktekan kebijakan dan solusinya tanpa memperhatikan kondisi riil di dalam negeri juga menimbulkan masalah. Saya pikir bisa dicari titik temu yang baik antara kewajiba nnegara itu untuk mematuhi apa yang dipersyaratkan dalam menerima pinjaman dengan persyaratan yang ditentukan agar tidak menimbulkan masalah yang lebih besar. Saya percaya ada solusi dan jalan tengah seperti itu.”

Sedangkan untuk Indonesia, Presiden mengatakan pemerintah masih terus berusaha mengurangi rasio utang. Pada puncak krisis 2008-2009, kata SBY, defisit keuangan Indonesia tidak lebih dari 2,5 persen, dan masih memiliki pertumbuhan ekonomi positif sebesar 4,5 persen.

“Kita belajar dari pengalaman yang pahit, oleh karena itu kami terus mengurangi Debt to GDP ratio (rasio utang). Dulu pada puncak krisis (1997-1998) hampir 100 persen, sekarang Debt to GDP ratio kita hanya 26 persen. Indonesia belajar banyak dari kesalahan di waktu lalu, termasuk kesalahan lembaga internasional yang menerapkan kebijakan yang keliru. Dari situ kita ingin mencegah krisis, dan ingin mengelola keuangan, kebijakan fiskal dan defisit dengan sebaik-baiknya,” ujar Presiden Yudhoyono.

Sementara Perdana Menteri François Fillon mengatakan, sejak awal krisis keuangan Eropa selalu mencari solusi. Pertama, keputusan Eropa yang diambil setelah kejatuhan Lehman-Brothers Bank yang dilakukan pada pertemuan di Paris, tahun 2008. Tindakan cepat juga lekas diambil untuk mengatasi krisis keuangan di Yunani.

Namun, berbeda dengan Indonesia, Uni Eropa masih menggandeng IMF untuk bantuan keuangan di negara tersebut.

PM Fillon mengatakan, “Krisis yang terjadi di Yunani (negara di Eropa yang pertamakali mengalami krisis keuangan) merupakan krisis yang dialami negara yang melakukan kesalahan keuangan. Bersama-sama dengan Uni Eropa kami sepakat untuk bekerjasama memberikan likuiditas finansial yang diperlukan, agar Yunani tidak perlu mencari utang di pasar dengan bunga yang tinggi. Beberapa hari ke depan Uni Eropa juga akan memberikan bantuan baru dengan dibantu IMF, dengan syarat Yunani menerima kebijakan yang ditawarkan, salah satunya adalah (keharusan melakukan) privatisasi. ”

Terkait dengan krisis di negara anggota lain, seperti Portugal dan Irlandia, Perdana Menteri Fillon mengaku telah menyelesaikan masalah keuangan di Portugal dengan cara-cara yang disebutnya “Solidaritas Eropa”.

Diakui Fillon tentu ada kesulitan menyatukan pendapat dari 27 pemimpin di Eropa. Namun, mereka telah sepakat membentuk tabungan dan menerapkan sanksi bagi negara-negara yang tidak menghormati kesepakatan zona Eropa di bidang makro ekonomi.

XS
SM
MD
LG