Tautan-tautan Akses

PM Ethiopia Terima Nobel Perdamaian, Perdamaian di Eritrea Dipertanyakan


PM Ethiophia Abiy Ahmed Ali berpose dengan medali dan piagam penghargaan Nobel Perdamaian di Oslo City Hall, Norwegia, 10 Desember 2019.
PM Ethiophia Abiy Ahmed Ali berpose dengan medali dan piagam penghargaan Nobel Perdamaian di Oslo City Hall, Norwegia, 10 Desember 2019.

PM Ethiopia Abiy Ahmed dianugerahi Nobel Perdamaian tahun ini, khususnya karena kesepakatan yang dicapainya dengan Eritrea pada 2018 untuk mengakhiri konflik perbatasan yang telah lama berlangsung. Sewaktu menerima penghargaan tersebut di Oslo, Selasa, Abiy bersikeras mengatakan, penghargaan itu juga milik mitranya dalam usaha perdamaian, yakni Presiden Eritrea Isaias Afwerki, yang niat baik dan komitmennya -- menurut Abiy – penting dalam mengakhiri kebuntuan antara kedua negara yang telah berlangsug selama dua dekade.

Banyak pengamat berharap, kesepakatan itu akan memicu reformasi politik di Eritrea, di mana Afwerki telah memerintah dengan tangan besi selama bertahun-tahun. Namun, para analis dan aktivis semakin meragukan bahwa kesepakatan itu akan menghentikan pemerintah Eritrea dalam menindas rakyatnya.

Sejak kesepakatan itu tercapai, tidak ada perubahan terkait UU yang dirancang untuk membungkan pembangkang politik dan media independen di Eritrea. Pemerintah di sana juga terus memberlakukan wajib militer tanpa batas terhadap ratusan ribu orang. Sementara perbatasan antara Ethiopia dan Eritrea dibuka pada pertengahan tahun 2018, perbatasan itu ditutup kembali tiga bulan kemudian setelah diketahui banyak warga Eritrea pergi meninggalkan negara mereka.

Aktivis Vanessa Tsehaye dari organisasi diaspora Eritrea Yiakl mengaku kecewa bahwa setahun setelah kesepakatan tercapai, situasi di kalangan rakyat biasa tidak berubah. Ia mengatakan, dampak dari kesepakatan perdamain ini hanya bisa dirasakan para pemimpinnya. Secara finansial, Eritrea memetik keuntungan dari perdagangan yang meningkat dengan Ethiopia, dan secara diplomatik, negara itu kini tidak seterisolasi seperti sebelum kesepakatan.

Namun para pemimpin negara itu tidak memperdulikan HAM, kata Tsehaye. "Eritrea kini dipandang sebagai negara dalam masa peralihan menuju masa depan yang lebih baik namun tanpa adanya bukti kemajuan atau indikasi bahwa ini sesungguhya terjadi,” katanya.

Isaias Afwerki telah memerintah Eritrea sejak negara itu meraih kemerdekaan dari Ethiopia pada 1993. Pada 2015, sebuah panel PBB menuduhnya memimpin pemerintahan totaliter dan bertanggungjawab atas sejumlah pelanggaran HAM yang bisa digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. [ab/uh]

XS
SM
MD
LG