Tautan-tautan Akses

Pesantren-pesantren di Sudan Ajarkan Cara Tradisional Belajar Al-Qur'an


Anak-anak laki-laki belajar baca Al-Qur'an selama Ramadan di Khalwa Syekh Tigani di Tulus, selatan Darfur, Sudan, 6 Juni 2017. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)
Anak-anak laki-laki belajar baca Al-Qur'an selama Ramadan di Khalwa Syekh Tigani di Tulus, selatan Darfur, Sudan, 6 Juni 2017. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)

Pesantren-pesantren di Sudan memberlakukan sistem pendidikan tradisional yang mereka yakini efektif mengajarkan siswa belajar Al-Qur'an.

Sebagaimana negara-negara tetangganya, Libya dan Mesir, Islam merupakan agama yang paling banyak dianut di Sudan. Dan seperti di Indonesia, negara republik di timur laut benua Afrika itu juga memiliki lembaga pendidikan keagamaan khas semacam pesantren yang disebut khalwa.

Di khalwa, semua biaya pendidikan gratis, termasuk makanan dan akomodasi. Lembaga yang jumlahnya mencapai sekitar 30 ribu di seluruh Sudan tersebut mendapat sokongan dana dari negara, sumbangan pribadi, atau dana-dana luar negeri. Para siswa di sana diajari berbagai ilmu agama dan terutama dididik menjadi penghafal Al-Qur'an.

Menurut Hamid Fadl Sid, pengajar di sebuah khalwa di ibu kota, Khartoum, berbeda dengan pesantren pada umumnya, selain membaca ayat-ayat Al-Qur'an dalam lembaran kertas biasa, siswa-siswa di sekolahnya diajarkan untuk menulis dan membaca di medium kayu, batu, kulit dan lain-lain.

Syekh menuliskan ayat Al-Qur'an untuk dibaca murid-muridnya di kelas baca Al-Qur'an di Khalwa Syekh Tigani, Tulus, selatan Darfur, Sudan, saaat Ramadan, 6 Juni 2017. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)
Syekh menuliskan ayat Al-Qur'an untuk dibaca murid-muridnya di kelas baca Al-Qur'an di Khalwa Syekh Tigani, Tulus, selatan Darfur, Sudan, saaat Ramadan, 6 Juni 2017. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)

Menurut lulusan Universitas Quran dan Ilmu Islam, salah satu perguruan tinggi bergengsi di Sudan, berkat metode ini, belajar menjadi lebih mudah dan lebih cepat.

“Pada zaman Nabi Muhammad, ayat-ayat itu ditulis di atas kulit dan tulang binatang atau loh yang terbuat dari kayu dan batu. Kami melanjutkan cara ini karena sudah banyak terbukti manfaatnya. Penghafalannya cepat dan permanen. Karena alasan ini, kami menggunakan metode sederhana ini,” ujarnya.

Sid mengatakan, para santri di khalwanya belajar keras dengan cara sering menulis dan membaca.

Siswa Khalwa Guran mengikuti pelajaran di sekitar api unggun usai santap sahur di Masjid Syekh Bashir, wilayah Omdurman, di bulan suci Ramadan, 26 Juli 2012. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)
Siswa Khalwa Guran mengikuti pelajaran di sekitar api unggun usai santap sahur di Masjid Syekh Bashir, wilayah Omdurman, di bulan suci Ramadan, 26 Juli 2012. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)

“Anak-anak bangun jam 3 pagi, 2 jam sebelum salat subuh. Mereka membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka pelajari sebelumnya. Setelah salat subuh, ada istirahat. Dan di tahap kedua, mereka mengulangi apa yang mereka telah pelajari dan kali ini bersama gurunya sampai jam 8 malam. Sebelum sarapan, para santri diharuskan menuliskan apa yang telah mereka pelajari di loh kayu dan menuliskannya kembali setelah diperiksa guru. Proses menghafal Al-Qur'an dilakukan hingga sore hari.”

Menurut Sid, dengan pelajaran yang terdiri dari tujuh tahap per hari itu, para santri berhasil menyelesaikan pendidikan Al-Qur'an dan agama mereka antara dua dan empat tahun.

Khalwa di Sudan terkenal sangat keras dalam mendidik para santrinya. Kanal YouTube BBC News Africa pernah merilis sebuah liputan dokumenter pada 19 Oktober 2020 berjudul The Schools That Chain Boys untuk program BBC Africa Eye. Liputan tersebut berisi investigasi jurnalis BBC Arabic Fateh al-Rahman terhadap 23 khalwa di Sudan selama 18 bulan.

Seorang gadis menulis ayat-ayat Quran saat belajar mengaji di bulan Ramadan, di Khalwa Syekh Tigani di wilayah Tulus, selatan Darfur, Sudan, 6 Juni 2017. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)
Seorang gadis menulis ayat-ayat Quran saat belajar mengaji di bulan Ramadan, di Khalwa Syekh Tigani di wilayah Tulus, selatan Darfur, Sudan, 6 Juni 2017. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)

Menurut film dokumenter itu, santri yang melanggar aturan bisa dikenai hukuman rantai. Pelanggaran aturan yang dimaksud termasuk ketika siswa dianggap tidak patuh, keliru membaca atau tidak mampu menghapal Quran, atau karena berusaha kabur.

Di salah satu khalwa yang cukup punya reputasi di negara itu, bernama Khalwa Khulafaa Al-Raasyidin pimpinan Syekh Hussein, yang terletak di kota terbesar di Sudan, Omdurman, Mohamed Nader (14) dan Ismail (10) mengalami penyiksaan yang hebat.

Sekujur tubuh Mohamed Nader dan Ismail penuh luka. Di pergelangan kaki mereka ada bekas rantai, kulit di punggung mereka terkelupas akibat cambukan, dan mereka mengaku tak diberi makan sampai lima hari lamanya. Mereka bahkan nyaris mati.

Dua kasus ini tak dibiarkan begitu saja. Kedua orang tua mereka memproses hal ini ke ranah hukum dengan maksud mencari keadilan dan agar hal ini tidak terjadi pada anak-anak lain di Sudan.

Seorang syekh membantu murid-muridnya membaca Al-Qur'an di Khalwa di wilayah Dalanj, Negara Bagian Kordofan Selatan, 4 Mei 2011.
Seorang syekh membantu murid-muridnya membaca Al-Qur'an di Khalwa di wilayah Dalanj, Negara Bagian Kordofan Selatan, 4 Mei 2011.

Sebelumnya, tidak ada yang berani melaporkan hal ini sebab pengaruh para syekh, sebutan orang yang memimpin khalwa, sangat besar di negara tersebut. Namun, pascapergantian rezim di Sudan, orang-orang mulai berani mempersoalkan tindakan tak manusiawi ini.

Dua orang guru telah didakwa atas kasus yang menimpa korban bernama Nader. Namun, karena pandemi COVID-19, sidang itu ditunda dan pihak pelapor belum kunjung mendapatkan pembela. Karena pandemi ini juga, dua terdakwa tersebut dilepaskan dari penjara.

Dalam investigasinya, BBC mengungkap bahwa setelah “dikasuskan”, Khalwa Khulafaa Al-Rasyidin dialihfungsikan menjadi gudang dan tidak ada lagi anak-anak yang dirantai.

Dalam sebuah wawancara dengan BBC, Syekh Hussein mengakui bahwa apa yang terjadi kepada Mohamed Nader dan Ismail adalah sebuah kesalahan. Ia berjanji akan memperbaiki sistem di lembaga yang dipimpinnya.

Kelas Baca Al-Qur'an di Bulan Ramadan khusus perempuan di Khalwa Syekh Tigani di wilayah Tulus, selatan Darfur, Sudan, 6 Juni 2017. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)
Kelas Baca Al-Qur'an di Bulan Ramadan khusus perempuan di Khalwa Syekh Tigani di wilayah Tulus, selatan Darfur, Sudan, 6 Juni 2017. (REUTERS/Mohamed Nureldin Abdallah)

Meski pihak berwajib telah memproses hukum dua pengajar di khalwa tersebut, praktik penyiksaan kabarnya masih terus terjadi di beberapa khalwa lain di Sudan.

“Tidak akan ada lagi pemukulan, penyiksaan apa pun bentuknya yang melanggar HAM. Bagi siapa saja yang melanggar, khalwanya akan ditutup,” ujar Menteri Urusan Agama Sudan, Nasreddine Mufreh. [ab/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG