Tautan-tautan Akses

Pertemuan Pejabat Senior ASEAN Tidak Bahas Isu Myanmar


Asean Ministrial Meeting (AMM) 2023 yang berlangsung di Jakarta.salah satunya membahas kawasan bebas nuklir di Asia Tenggara. (Foto: Courtesy/Kemenlu)
Asean Ministrial Meeting (AMM) 2023 yang berlangsung di Jakarta.salah satunya membahas kawasan bebas nuklir di Asia Tenggara. (Foto: Courtesy/Kemenlu)

Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Sidharto R. Suryodipuro dalam jumpa pers usai pertemuan para pejabat senior ASEAN pada Senin (10/7), menggarisbawahi bahwa isu Myanmar akan ditangani oleh kantor utusan khusus ASEAN untuk Myanmar, bukan dalam forum seperti pertemuan para pejabat senior.

"Yang bisa saya sampaikan pada tahap ini adalah para pejabat senior (ASEAN) tidak membahas isu Myanmar dan tidak ada agenda khusus tentang Myanmar," kata Sidharto.

Ia menambahkan, sebagaimana kesepakatan sebelumnya maka undangan untuk Myanmar ditujukan kepada perwakilan non-politik.

Sidharto menjelaskan pertemuan para pejabat senior negara-negara anggota ASEAN itu merupakan bagian dari persiapan untuk rangkaian pertemuan para menteri luar negeri ASEAN. Pertemuan tersebut tidak membuat keputusan, tetapi lebih pada membahas isu-isu dan menyusun rekomendasi, yang nantinya akan dibahas dan diputuskan dalam pertemuan para menteri luar negeri ASEAN; dan kemudian dibawa ke pertemuan pemimpin ASEAN.

Foto bersama para menteri luar negeri dan sekjen ASEAN sebelum acara Asean Ministrial Meeting 2023 pada Selasa (11/7) di Jakarta. (Foto: Courtesy/Kemenlu)
Foto bersama para menteri luar negeri dan sekjen ASEAN sebelum acara Asean Ministrial Meeting 2023 pada Selasa (11/7) di Jakarta. (Foto: Courtesy/Kemenlu)

Menurutnya, ada tiga hal besar yang dibahas dalam pertemuan para pejabat senior ASEAN, yakni berbagai isu internal ASEAN, bagaimana menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan di kawasan dan dunia, serta bagaimana implementasi Pandangan ASEAN pada Indo Pasifik.

Pertemuan para pejabat senior ASEAN juga membahas tentang hubungan dengan mitra dialog. Namun para pejabat senior tersebut tidak membahas mengenai isu kapal selam bertenaga nuklir.

Pertemuan dilanjutkan dengan pertemuan Komite Eksekutif Komisi Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara yang menegaskan pentingnya kerjasama regional dalam menjaga kawasan bebas senjata nuklir serta memperkuat keamanan regional.

Hasil dari kedua pertemuan ini akan dibahas lebih lanjut pada tingkat menteri luar negeri ASEAN pada Selasa (11/7).

Rangkaian pertemuan para menteri luar negeri ASEAN itu akan diikuti oleh 29 negara, termasuk China, Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, India, Amerika Serikat, Kanada, Rusia, Bangladesh, Mongolia, Inggris, Uni Eropa. Dari jumlah itu, tiga negara mengirim utusan di bawah level menteri luar negeri, yakni Papua Nugini, Pakistan, dan Korea Utara.

Code of Conduct Jadi Isu Penting

Pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Invasi Nasional (BRIN) Faudzan Farhana menilai persoalan lainnya yang sangat penting untuk dibicarakan oleh para menteri luar negeri ASEAN adalah persoalan Code of Conduct (CoC).

Farhana menekankan langkah satu-satunya yang harus diambil Indonesia sebagai ketua ASEAN adalah menyatukan suara semua negara anggota ASEAN dalam masalah CoC di Laut China Selatan.

Seorang pekerja sedang mengatur letak bendera negara-negara anggota ASEAN di Jakarta, 10 Juli 2023. (Foto: AP)
Seorang pekerja sedang mengatur letak bendera negara-negara anggota ASEAN di Jakarta, 10 Juli 2023. (Foto: AP)

ASEAN, lanjutnya, selama ini tidak satu suara tentang aturan main atau Code of Conduct (CoC) di Laut China Selatan. Dia menambahkan ada tiga negara anggota ASEAN memiliki kepentingan soal klaim atas wilayah laut China Selatan, yakni Vietnam, Filipina, dan Malaysia.

"Terkait dengan Laut China Selatan, di mana mereka (Vietnam, Filipina, dan Malaysia) punya batasan langsung. Mereka punya wilayah laut atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang kalau berdasarkan UNCLS (Hukum Laut Internasional), itu mereka bisa klaim. Tapi karena China punya sembilan garis putus-putus yang kemudian mencaplok semua wilayah, itu mereka tidak terima," ujar Farhana.

Menurut Farhana, CoC itu merupakan prosedur standar bagi negara-negara yang melintasi Laut China Selatan demi tujuan damai. Tidak boleh untuk uji coba nuklir, pembuangan limbah berbahaya, dan sebagainya. Indonesia, tambahnya, harus bisa meyakinkan China bahwa klaim mereka tidak mendapat dukungan internasional.

China menggunakan Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus dalam menentukan wilayah maritime historisnya. Pasalnya, hal itu tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). [fw/em]

Forum

XS
SM
MD
LG