Tautan-tautan Akses

Perlu Sosialisasi Sebelum Premium Dihapus


Para pengguna sepeda motor mengantri di sebuah SPBU di kota Bandung untuk membeli BBM jenis premium (foto: dok).
Para pengguna sepeda motor mengantri di sebuah SPBU di kota Bandung untuk membeli BBM jenis premium (foto: dok).

Pemerintah harus melakukan sosialisasi jika akan menghapus bahan bakar minyak atau BBM bersubsidi sesuai rekomendasi Tim Tata Kelola Migas.

Keharusan untuk sosialisasi mengenai penghapusan premium jika kebijakan itu jadi dilaksanakan, disampaikan Ferdinan Hutahaen dari Energy Watch. Hal senada juga disampaikan pengamat migas, Marwan Batubara.

Sementara Menko bidang Perekonomian, Sofyan Djalil memastikan PT. Pertamina butuh waktu jika harus menghapus Premium.

Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas kepada pemerintah dan Pertamina agar menghapus BBM bersubsidi jenis Premium di Indonesia karena banyak merugikan negara serta mengalihkannya ke BBM non subsidi jenis Pertamax, mendapat respons dari banyak kalangan.

Menurut Ferdinan Hutahaen dari Energy Watch di Jakarta, Jumat, pemerintah harus mempertimbangkan berbagai hal secara matang sebelum memutuskan menghapus Premium.

“Rekomendasi tim ini belum mempertimbangkan seluruh aspek yang terkait dengan kepentingan strategis nasional, kebutuhan kita untuk membuat NOC, National Oil Company Indonesia, bisa tumbuh lebih besar untuk menjamin ketahanan energi, atau masalah timing dan sebagainya, maka pemerintah tidak segera menyetujui rekomendasi itu tetapi itu bisa menjadi salah satu bahan untuk direview secara komprehensif,” kata Ferdinan Hutahaen.

Menurut pengamat migas dari Indonesian Resources Studies, Marwan Batubara, pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat jika pada ahirnya nanti menerapkan kebijakan menghapus Premium.

“Bila memang pemerintah ingin melaksanakan rekomendasi tim Faisal Basri ini maka pemerintah harus menindaklanjutinya dengan kebijakan-kebijakan lanjutan, diantaranya adalah mencabut atau merevisi SK Dirjen Migas dan Peraturan Presiden yang menyatakan bahwa yang disubsidi itu adalah Premium Oktan 88 merubahnya menjadi Oktan 92, karena apabila ini tidak direvisi artinya nanti masyarakat akan dihadapkan dengan liberalisasi harga BBM, yang ada di pasaran nanti adalah Pertamax, yang saat ini sudah masuk kepada mekanisme pasar harganya tidak lagi disubsidi tetapi tergantung kepada harga minyak dunia, nah kalau ini terjadi nanti akan menjadi masalah kepada masyarakat, masyarakat akan dikagetkan selalu dengan kenaikan harga-harga bahan pokok, mengikuti kalau harga minyak naik,” kata Marwan Batubara.

Pada kesempatan berbeda, Menko bidang Perekonomian, Sofyan Djalil mengatakan hingga tahun 2015 pemerintah masih menyediakan BBM bersubsidi jenis Premium. Selain pemerintah masih mempelajari rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas, ditegaskan Menko, Sofyan Djalil, Pertamina juga belum siap jika Premium harus segera dialihkan ke Pertamax.

“Memperbaiki kilang minyak ini, Pertamina ada lima kilang minyak empat diantaranya sudah sangat-sangat tua, ini harus segera diperbaiki tetapi memperbaiki perlu waktu, sehingga dengan demikian apabila kita bisa perbaiki ini maka produksi keluaran Pertamina akan lebih tinggi RON nya,” kata Sofyan Djalil.

Sebelumnya Tim Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan pemerintah dan Pertamina menghapus BBM bersubsidi jenis Premium sebab berpotensi menciptakan kartel. Hal tersebut karena Indonesia merupakan satu-satunya negara masih menggunakan Premium yang tidak memiliki harga patokan pasar sehingga rentan dipermainkan produsen.

Tim tersebut juga menilai jika selama ini butuh anggaran sekitar 13 milyar dollar Amerika per tahun untuk impor Premium, anggaran tersebut dapat digunakan membangun kilang minyak baru.

Recommended

XS
SM
MD
LG