Tautan-tautan Akses

Pengosongan Agama di KTP Dinilai sebagai Bentuk Diskriminasi


Seorang petugas kelurahan di Sragen mengambil foto KTP seorang warga (foto: dok).
Seorang petugas kelurahan di Sragen mengambil foto KTP seorang warga (foto: dok).

Setara Institute menegaskan bahwa pengosongan kolom agama pada KTP untuk penganut keyakinan atau kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah sebagai bentuk diskriminasi.

Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo baru-baru ini menyatakan bahwa kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) dapat dikosongkan untuk penganut keyakinan atau kepercayaan di luar enam agama yang diakui pemerintah.

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos kepada VOA hari Senin (10/11) menilai hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi administrasi. Selain itu, langkah tersebut kata Bonar memperlihatkan tidak adanya pengakuan yang setara terhadap agama dan kepercayaan yang ada di luar enam agama resmi.

Sesuai dengan prinsip hak asasi manusia tambah Bonar, lembaganya sangat tidak menyetujui adanya kolom agama di KTP.

Menurut Bonar, semua negara harus setara, tidak boleh ada diskriminasi agama tertentu. Negara, kata Bonar, sebaiknya mengambil jarak dari agama dan kepercayaan termasuk masalah administrasi kependudukan.

Lebih lanjut dia menjelaskan dalam sejarahnya, pada tahun kepemimpinan Soekarno-Hatta Indonesia pernah tidak mencantumkan kolom agama dalam KTP. Pencantuman kolom agama dilakukan pada masa orde baru. Menurutnya pencantuman dilakukan untuk menekan paham komunisme dan juga sebagai bentuk kontrol.

"Ke-identitasan sosial kita kan ke-Indonesiaan, selama kita menjadi Indonesia berarti hak-hak kita sebagai warga negara diperlakukan sama. Kedua, kalau ada kolom agama itu berarti ada semacam pembedaan-pembedaan. Dalam pelayanan publik kan juga tidak menjadi penting apa yang disebut dengan identitas keagamaan. Apakah karena agama kamu X, (maka) kamu mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan yang lebih dari agama lain, kan tidak kan?." papar Bonar.

Bonar Tigor menambahkan belum ada terobosan yang ditunjukan oleh pemerintahan Jokowi-JK terkait dengan masalah ini. Untuk itu dia mendesak pemerintah Jokowi untuk segera merevisi Undang-undang Administrasi kependudukan agar masalah tersebut bisa diselesaikan.

"Dihapuskan sama sekali tetapi kemudian dicantumkan ke dalam data kependudukan jadi dokumen kependudukan lain yang ada di kelurahan dan kecamatan atau kalau mau mencantumkan semua agama dan kepercayaan di Indonesia berdasarkan pilihan warga negara," tambah Bonar.

Sementara, Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, menegaskan kebijakan pengosongan kolom agama bagi penganut kepercayaan tersebut lebih cocok diterapkan di negara Barat. Menurut Fahri, kolom agama di negara Timur sangat penting, yakni sebagai identitas warga negara.

Masyarakat Barat, kata Fahri, tumbuh dengan kultur individualisme, sementara di negara Timur tumbuh dengan kultur komunal. Agama seseorang menentukan cara warga negaranya berkehidupan, misalnya cara menikah, cara bergaul, hingga cara ketika seseorang meninggal dunia.

"Pancasila menetapkan Pancasila di sila pertama karena pentingnya, makanya tidak mungkin itu dihilangkan dari identitas pribadi," ujar Fahri Hamzah.

Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo mengungkapkan kebijakan pengosongan kolom agama tersebut diberlakukan bagi warga negara Indonesia yang menganut kepercayaan di luar agama yang diakui pemerintah.

Selama ini, warga penganut agama kepercayaan dan agama di luar enam agama yang ada dipaksa menuliskan satu dari enam agama resmi di KTP. Akibat pemaksaan tersebut kata Tjahyo banyak warga yang memiliki untuk tidak memiliki KTP dan itu menghambat kegiatan pencatatan kependudukan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri.

Recommended

XS
SM
MD
LG