Tautan-tautan Akses

Pengembang Aplikasi Ingin Buktikan Anak-Anak Miskin di Dunia Dapat Mendidik Dirinya Sendiri


Logo Global Learning XPRIZE, courtesy XPRIZE
Logo Global Learning XPRIZE, courtesy XPRIZE

Bisakah anak-anak yang tidak pernah sekolah mengajari dirinya sendiri cara dasar membaca, menulis, dan matematika dengan menggunakan perangkat tablet?

Bank Dunia dan XPrize bertaruh 15 juta dolar untuk ide tersebut.

“Ini sedikit di luar kebiasaan, ini sedikit ide gila," kata Matt Keller, direktur senior Global Learning XPrize, sebuah kompetisi yang didanai oleh XPrize Foundation, sebuah badan nirlaba yang mendorong penemu untuk mengatasi masalah global seperti perubahan iklim dan perawatan kesehatan universal.

Kompetisi perdana Global Learning XPrize memberi hadiah 10 juta dolar kepada tim atau perusahaan yang mengembangkan aplikasi pendidikan terbaik untuk anak-anak yang tidak pernah menginjakkan kaki di kelas. Menurut UNESCO Institute for Statistics, sekitar 263 juta anak di seluruh dunia tidak bersekolah.

"Dapatkah Anda mengembangkan sesuatu yang sangat intuitif, sangat dapat disimpulkan, begitu dinamis sehingga Anda memberikannya kepada anak yang buta huruf di bagian dunia yang sangat terpencil - dia mengambilnya, dia menyentuhnya dan dia mulai belajar membaca? Itulah tantangan yang kami hadapi di dunia ini, " kata Keller.

Sedikitnya 198 tim menghadapi tantangan tersebut. Dari kompetisi itu, lima finalis terpilih dan masing-masing memperoleh 1 juta dolar.

Para finalis akan mulai menguji aplikasi pendidikan mereka pada bulan November. Hampir 4.000 anak-anak dari 150 desa di wilayah Tanga di Tanzania akan menggunakan tablet yang disumbangkan oleh Google untuk mengakses aplikasi dan mengajar diri mereka sendiri.

Sebagian siswa pada awalnya akan diuji kemampuan membaca dan pemahaman berhitung dengan menggunakan model early grade reading assessment (EGRA) dan model early grade math assessment (EGMA). Setelah 15 bulan, siswa yang sama akan diuji ulang. Hadiah utama sebesar 10 juta dolar akan diberikan kepada tim pengembang dengan tingkat kemahiran tertinggi di kalangan siswa.

XPrize bekerja sama dengan UNESCO, Program Pangan Dunia, dan pemerintah Tanzania untuk mendistribusikan dan pemeliharaan tablet.

"Sebagian besar organisasi pembangunan, lembaga bantuan dan pemerintah berfokus untuk membangun sekolah baru dan melatih guru baru," kata Keller kepada VOA News, "Apa yang kami katakan adalah ada banyak anak di luar sana yang tidak sekolah dan ada anak di luar sana mengakses sekolah yang sangat buruk. Jadi, bisakah Anda memberikan teknologi bagus kepada mereka, yang tak tergantikan, tetapi juga melengkapi proses belajar yang mungkin tidak dimiliki?"

Menurut sebuah laporan 2016 oleh Institut Statistik UNESCO, pada tahun 2030, dunia perlu merekrut 68,8 juta guru untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan PBB menyangkut pendidikan dasar dan menengah.

"Itu tidak mungkin," kata Jamie Stuart, salah satu pendiri pendidikan non-profit Onebillion, yang merupakan satu dari lima finalis Global Learning XPrize. "Jadi kita harus mencari alternatif radikal dalam hal pembelajaran anak-anak," kata Stuart.

Pengembang Onebillion telah menguji coba aplikasi mereka, Onecourse, selama 10 tahun terakhir di Malawi. Aplikasi ini dirancang agar anak-anak dapat menggunakannya dengan sedikit atau tanpa bantuan orang dewasa, dan mengajarkan anak membaca dan berhitung menggunakan karakter guru yang bisa berbicara bahasa mereka.

Pengujian menghadapi banyak tantangan, salah satunya bekerja dengan populasi yang sering kali tidak pernah berinteraksi dengan tablet sebelumnya.

"Menjaga agar tetap sederhana, tetap fokus pada kebutuhan anak-anak, dan menyesuaikan dengan apa yang mereka pelajari adalah bahan utamanya," kata Stuart.

Finalis lainnya adalah Curriculum Concepts International (CCI), sebuah aplikasi berbasis pelajaran yang menggabungkan permainan, video dan buku, simpanse, yang berfokus pada pembelajaran berbasis permainan dan penemuan, Kitkit School, yang pada awalnya dirancang untuk anak-anak berkebutuhan khusus, dan RoboTutor, yang dikembangkan oleh para peneliti di Carnegie Mellon University, menggabungkan kecerdasan membuat dan pembelajaran mesin.

“Jika kita dapat membuktikan bahwa seorang anak tidak memerlukan instruksi selain yang ada pada perangkat itu, maka kita akan memulai menggunakan perangkat yang dirancang untuk anak itu, di belahan dunia, dengan seorang guru di dalamnya," kata Keller. [aa/ww]

XS
SM
MD
LG