Tautan-tautan Akses

Pengadilan Singapura Tolak Batalkan UU Kriminalisasi Seks Kaum Gay


Peserta pawai tahunan Pink Dot, yang diorganisasi oleh komunitas LGBT Singapura, membentuk formasi bertuliskan cabut Undang-Undang 377A yang mengkriminalisasi kaum gay, di Hong Lim Park, Singapura, 29 Juni 2019. (Foto: Reuters)
Peserta pawai tahunan Pink Dot, yang diorganisasi oleh komunitas LGBT Singapura, membentuk formasi bertuliskan cabut Undang-Undang 377A yang mengkriminalisasi kaum gay, di Hong Lim Park, Singapura, 29 Juni 2019. (Foto: Reuters)

Komunitas LGBTQ + Asia mengalami kemunduran, Senin (30/3), setelah Pengadilan Tinggi Singapura menolak beberapa tuntutan pembatalan sebuah hukum kolonial yang mengkriminalisasi seks kelompok gay.

Meskipun sejumlah jajak pendapat menunjukkan sebagian besar warga Singapura tidak menerima homoseksualitas, toleransi luas masih ada di negara itu. Namun kaum konservatif mendesak kembali dengan kampanye gencar agar undang-undang yang dikenal sebagai "Section 377A" tetap berlaku.

Meskipun jarang ditegakkan, undang-undang 377A itu melarang para pria melakukan perbuatan tidak senonoh dengan pria lain. Bagi yang melanggar dapat dihukum hingga dua tahun penjara.

Sejumlah upaya pembatalan sekaligus membuktikan aturan itu tidak konstitusional dipimpin oleh seorang pensiunan dokter, pembela hak LGBTQ + dan seorang DJ. Namun bahkan setelah Pengadilan Tinggi Singapura mendengarkan kesaksian dari ketiganya, pengadilan tetap menyatakan undang-undang tersebut sesuai konstitusi. Pengadilan berpendapat undang-undang itu tidak melanggar aturan terkait kesetaraan atau kebebasan dalam berpendapat.

“Legislasi tetap penting dalam mencerminkan sentimen dan kepercayaan publik,” kata pengadilan dalam bantahannya. Pengadilan beralasan hanya karena hukum tidak ditegakkan secara tegas, tidak “menjadikannya mubazir.”

Setelah putusan akhir dibacakan, pengacara M. Ravi, yang mewakili salah satu penuntut, berbicara kepada sejumlah wartawan di luar gedung pengadilan dan menyatakan kekecewaannya.

“Ini mengejutkan hati nurani dan sangat sewenang-wenang. Undang-undang ini sangat diskriminatif,” ujar Ravi.

Ini bukan kali pertama larangan itu diajukan ke pengadilan. Pada Oktober 2014, berbagai upaya juga dilakukan untuk mencabut larangan itu, tetapi ditolak dengan alasan yang sama dengan keputusan pada Senin (30/3) tersebut. [mg/pp]

Recommended

XS
SM
MD
LG