Tautan-tautan Akses

Penelitian Baru Peringatkan Hancurnya Rantai Makanan Laut Global


Sepotong karang besar terlihat di laguna yang terletak di Lady Elliot Island 80 kilometer sebelah timur kota Bundaberg di Queensland, Australia, 9 Juni 2015. (Foto: dok. REUTERS/David Gray)
Sepotong karang besar terlihat di laguna yang terletak di Lady Elliot Island 80 kilometer sebelah timur kota Bundaberg di Queensland, Australia, 9 Juni 2015. (Foto: dok. REUTERS/David Gray)

Penelitian baru memperingatkan bahwa kondisi perikanan dan ekosistem laut di dunia menghadapi ancaman yang lebih parah dari yang diperkirakan sebelumnya.

Penelitian baru memperingatkan bahwa perikanan dan ekosistem laut menghadapi ancaman yang lebih parah dari yang diperkirakan sebelumnya akibat naiknya tingkat karbon dioksida, sehingga bisa memicu rusaknya rantai makanan laut global.

Setelah memeriksa data dari 632 eksperimen yang telah diterbitkan tentang perairan tropis dan kutub, dan berbagai ekosistem termasuk terumbu karang, hutan kelp dan lautan terbuka, dua orang Profesor Australia menyimpulkan hanya sedikit spesies yang bisa menghindari dampak negatif sebagai akibat meningkatnya karbon dioksida.

Perkecualian ditemukan pada mikroorganisme, seperti plankton dan ganggang, yang diperkirakan tetap meningkat baik dalam segi jumlah maupun keragamannya.

Mikroorganisme menyediakan makanan bagi herbivora laut. Tapi keadaan rantai makanan menjadi buruk bagi karnivora yang menjadi dasar bagi industri perikanan.

Hal ini akan menyebabkan kehidupan di laut mengalami "kehancuran spesies mulai dari puncak rantai makanan hingga ke bawah," kata Profesor Ivan Nagelkerken dari Laboratorium Ekologi Laut Selatan di Universitas Adelaide, Australia.

Penelitian ilmiah sebelumnya telah memperkirakan hancurnya cadangan ikan untuk keperluan perdagangan selama tiga puluh tahun mendatang.

Spesies Laut Musnah secara Massal

"Tidak ada spesies yang bisa bertahan hidup sendiri di sebuah lingkungan yang tidak menyediakan makanan yang cukup. Dan dampak negatif ini semakin buruk dirasakan oleh jenis spesies yang berada di urutan atas rantai makanan,” kata Nagelkerken pada VOA.

Nagelkerken, bersama seorang ahli ekologi laut dari Unversitas Adelaide, Profesor Sean Connell, sampai pada kesimpulan yang jauh lebih buruk daripada yang mereka perkirakan ketika mereka baru memulai penelitian tentang dampak meningkatnya suhu laut dan pengasaman laut.

“Kami tidak menduga akan menemukan dampak negatif yang begitu besar pada sekian banyak spesies, terkait keragaman dan jumlah mereka," kata Nagelkerken.

Bahkan bila emisi karbon dioksida dihentikan, laut masih terus memanas dan akan menjadi asam selama beberapa waktu. Tapi ada beberapa hal yang bisa dilakukan manusia untuk menghindari bencana yang mengancam ini, menurut Nagelkerken.

“Kalau kita mengurangi pemicu stres pada para spesies ini, seperti polusi laut, eutrophication (proses di mana air menerima kelebihan gizi yang mestimulasi pertumbuhan tanaman yang berlebih) dan penangkapan ikan berlebih, kita sebenarnya bisa menunda terjadinya bencana ini. Jadi kita harus mengurangi pemicu stres pada spesies-spesies ini agar mereka, paling tidak, bisa memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan global," ujarnya.

Pengasaman Laut mempengaruhi Iklim Global

Karena laut memanas, beberapa spesies akan berenang ke wilayah yang lebih tinggi tapi peluang bertahan hidup spesies yang malas akan sangat terancam.

Analisa ini juga menunjukkan bahwa perairan yang lebih panas atau tingkat asamnya semakin meningkat, atau keduanya, membahayakan spesies yang membentuk habitat seperti batu karang, tiram dan kerang. Perubahan sekecil apapun pada kesehatan habitat mereka diperkirakan akan menimbulkan dampak luas bagi banyak jenis spesies yang hidup pada terumbu karang.

Penelitian itu juga memperkirakan pengasaman laut akan mengurangi gas dimethylsulfide (DMS) yang dihasilkan oleh plankton laut. DMS membantu meningkatkan awan yang mengatur suhu Bumi. Jadi, dengan semakin sedikit gas yang dihasilkan, artinya awan menjadi semakin sedikit dan dengan demikian, suhu Bumi menjadi semakin panas.

Hasil penelitian Universitas Adelaide ini diterbitkan hari Selasa (13/10) di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. [dw/pp]

XS
SM
MD
LG