Tautan-tautan Akses

Penegakan Hukum Pelaku Kejahatan terhadap Satwa Dilindungi di Aceh dan Sumut, Dikritisi


Satu lembar kulit harimau Sumatra dan beberapa bagian tubuh lainnya yang disita Gakkum KLHK di Kabupaten Bener Meriah, Aceh. (Courtesy: Balai Gakkum KLHK Wilayah I Sumatra)
Satu lembar kulit harimau Sumatra dan beberapa bagian tubuh lainnya yang disita Gakkum KLHK di Kabupaten Bener Meriah, Aceh. (Courtesy: Balai Gakkum KLHK Wilayah I Sumatra)

Dua kasus perdagangan satwa dilindungi menjadi sorotan. Sejumlah aktivis mempertanyakan mengapa para pelaku tidak ditahan pihak berwajib.

Salah satu kritikan itu datang dari Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Akhmad Shalihin. Dia mempertanyakan penegakan hukum terkait kasus perdagangan kulit harimau yang melibatkan mantan bupati Bener Meriah, Ahmadi.

"WALHI Aceh menyayangkan keputusan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatra melepaskan dua orang yang disangkakan melakukan perdagangan satwa liar yaitu kulit harimau," katanya kepada VOA, Kamis (26/5).

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Akhmad Shalihin.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Akhmad Shalihin.

Sebelumnya, Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatra bersama-sama dengan Polda Aceh, pada Selasa (24/5) mengamankan bagian-bagian satwa yang dilindungi berupa kulit harimau beserta tulang belulangnya tanpa gigi taring di SPBU Pondok Baru, Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.

Kemudian, dari operasi tersebut dua orang ditangkap, yakni S dan mantan bupati Bener Meriah, Ahmadi. Satu orang lagi yang diduga pelaku utama berinisial, I, berhasil melarikan diri. Namun, kedua orang yang ditangkap itu tak ditahan. Petugas hanya memberlakukan wajib lapor terhadap S dan Ahmadi.

Kulit harimau Sumatra yang diperlihatkan dalam konferensi pers oleh polisi di Medan, Sumatra Utara, 31 Januari 2019. (Foto: AFP)
Kulit harimau Sumatra yang diperlihatkan dalam konferensi pers oleh polisi di Medan, Sumatra Utara, 31 Januari 2019. (Foto: AFP)

"Pada saat penangkapan itu ditemukan barang bukti kulit harimau beserta organ tubuh lainnya. Tapi kemudian Gakkum mengambil sikap bahwa masih diperlukan bukti-bukti lain. Bukti lain apalagi yang diperlukan? Karena barang bukti sudah ada. Proses jual beli juga sudah terjadi. Tapi kenapa hanya dijadikan saksi dan kemudian hanya wajib lapor," ujarnya.

Shalihin mengatakan, dua orang yang dikenai wajib lapor itu berpotensi bisa menghilangkan barang bukti. WALHI Aceh pun heran dengan tindakan yang dilakukan petugas terhadap dua orang yang ditangkap itu.

"Ini yang kami takutkan bisa jadi ada barang bukti lain ketika terduga pelaku ini dipulangkan. Itu mungkin bisa ada upaya penghilangan barang bukti atau melarikan diri. Terus apa garansi Gakkum melepaskan mereka hanya wajib lapor," ucapnya.

WALHI Aceh, katanya, akan mengawal kasus ini sehingga jaringan perdagangan kulit dan organ-organ tubuh harimau Sumatra bisa terungkap sepenuhnya.

"Penangkapan dan penindakan secara tegas serta mengungkap jaringan maupun aktor utama pembeli bisa mereduksi pengulangan kasus yang sama," tandasnya.

Juru bicara Polda Aceh, Kombes Pol Winardy, mengaku pihaknya telah langsung menghubungi Balai Gakkum Wilayah Sumatra terkait penangkapan terduga pelaku perdagangan kulit harimau.

Tiga harimau Sumatra ditemukan mati terjerat di Kabupaten Aceh Timur, Aceh. (Foto: BKSDA)
Tiga harimau Sumatra ditemukan mati terjerat di Kabupaten Aceh Timur, Aceh. (Foto: BKSDA)

"Polda Aceh dalam hal ini Bagwassidik Ditreskrimsus selaku pembina fungsi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) cuma melakukan pendampingan saat penangkapan," katanya melalui pesan singkat kepada VOA, Kamis (26/5).

Kepala Seksi Balai Gakkum Wilayah Sumatra, Haluanto Ginting, menyatakan alasan tidak ditahannya para terduga pelaku karena masih perlunya pemeriksaan saksi-saksi tambahan untuk meningkatkan status kedua orang tersebut.

"Karena masih saksi," singkatnya kepada VOA.

Haluanto enggan memaparkan lebih lanjut peran mantan bupati Bener Meriah terkait kasus perdagangan kulit harimau. Barang-barang bukti berupa satu lembar kulit harimau Sumatra beserta tulang belulangnya tanpa gigi taring telah diamankan di kantor Pos Gakkum Aceh.

Terungkapnya kasus perdagangan satwa liar yang dilindungi ini berawal dari kegiatan operasi yang dilaksanakan oleh Tim Balai Gakkum KLHK Wilayah Sumatra bersama dengan Polda Aceh pada 23 Mei 2022. Tim itu memperoleh informasi dari masyarakat mengenai adanya warga Kecamatan Samar Kilang, Kabupaten Bener Meriah Aceh, yang menawarkan satu lembar kulit harimau beserta tulang belulangnya.

Selanjutnya petugas menyamar sebagai pembeli dan melakukan kesepakatan terkait harga, lokasi dan waktu transaksi dengan pelaku. Pada 24 Mei 2022, petugas yang menyamar tersebut, beserta tim operasi. menuju lokasi yang disepakati yaitu SPBU Pondok Baru Kecamatan Bandar, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh.

Setelah memperlihatkan satu lembar kulit harimau beserta tulang belulangnya, tiga terduga pelaku perdagangan itu langsung diamankan. Namun kemudian, satu orang melarikan diri dan hingga saat ini masih diburu KLHK dan Polda Aceh.

Satu individu bayi orang utan Sumatra yang disita polisi dari pelaku perdagangan satwa dilindungi di Sumatra Utara. (Courtesy: Polda Sumut)
Satu individu bayi orang utan Sumatra yang disita polisi dari pelaku perdagangan satwa dilindungi di Sumatra Utara. (Courtesy: Polda Sumut)

Kasus serupa yang juga mendapat sorotan dari para aktivis satwa dan lingkungan adalah perdagangan bayi orang utan yang dilakukan oleh lima orang pemuda asal Kota Binjai, Sumut. Sindikat perdagangan satwa dilindungi orang utan Sumatra berhasil diungkap tim Subdit IV Tindak Pidana Tertentu bersama Subdit V Siber Crime Ditreskrimsus Polda Sumatra Utara (Sumut), Kamis (28/4).

Pengungkapan sindikat perdagangan orang utan itu berawal saat petugas mendapatkan informasi terkait adanya transaksi jual beli satwa dilindungi, Rabu (27/4). Kemudian, polisi melakukan penyelidikan dengan cara menyamar sebagai pembeli.

Para pelaku kemudian sepakat untuk bertemu dan melakukan transaksi. Saat para pelaku memperlihatkan orang utan yang didapat wilayah Aceh Timur tersebut, petugas langsung menangkap mereka, namun, tak ada satu pun dari mereka yang ditahan.

Orangutan yang berhasil diselamatkan (foto: courtesy).
Orangutan yang berhasil diselamatkan (foto: courtesy).

Juru bicara Polda Sumut, Kombes Pol Hadi Wahyudi, mengatakan para pelaku tidak ditahan lantaran masih berusia di bawah umur. Mereka juga hanya diwajibkan melapor.

"Kasus masih berjalan. Tidak ditahan karena masih di bawah umur," ucapnya kepada VOA.

Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan, menyampaikan kritiknya terkait para pelaku yang tak ditahan karena alasan masih di bawah umur.

Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan. (Foto: Dok Pribadi)
Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan. (Foto: Dok Pribadi)

"Tapi sebenarnya anak di bawah umur itu bisa untuk membongkar jaringannya. Mengistimewakan pelaku seperti itu membuat jaringan tidak akan pernah terbuka. Ini malah menjadikannya tanda tanya kenapa seperti biasa saja menanganinya. Padahal ini (mungkin) jaringan internasional, tapi penanganannya seperti ogah-ogahan. Itu membuat orang menjadi berpikir negatif terhadap aparat keamanan," ujarnya.

Menurut Dana, apabila para pelaku tidak ditahan, petugas seharusnya mengungkapkan perkembangan kasus secara transparan.

"Kalau tidak ditahan seharusnya transparan (terkait) perkembangan kasusnya. Kalau itu bisa dibuka oleh Gakkum KLHK atau kepolisian, itu bisa kita maklumi walaupun dia tidak ditahan. Yapi bisa menjadi sumber informasi untuk membongkar jaringannya," ucapnya.

Para aktivis juga mempersoalkan keringannya hukuman terhadap para pelaku kejahatan terhadap satwa dilindungi. Pasal 21 Ayat (2) huruf d jo pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya hanya memberikan hukuman maksimal 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta kepada pelakunya.

"Ini harus dikoreksi kembali mulai dari hulu sampai hilir. Mungkin untuk kasus kejahatan terhadap satwa dilindungi harus diperberat hukumannya dan direvisi undang-undang terkait hal ini. Kalau tidak direvisi ini akan gampang sekali untuk dijalani," kata Dana.

Orangutan bermain di pohon di pusat International Animal Rescue di luar kota Ketapang di Kalimantan Barat, 4 Agustus 2016. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Orangutan bermain di pohon di pusat International Animal Rescue di luar kota Ketapang di Kalimantan Barat, 4 Agustus 2016. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Dana mengungkapkan, penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan satwa dilindungi harus dilakukan dengan serius.

"Jangan sampai pandangan masyarakat mencurigai aparat keamanan karena tuntutan dan vonisnya selalu di bawah yang diinginkan masyarakat. Ini hanya akan membuat tindak pidana perdagangan satwa liar akan terus terjadi. Satwa liar itu akan punah," pungkas Dana. [aa/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG