Tautan-tautan Akses

Penerima Equator Prize, Petrus Asuy


Petrus Asuy (Foto: AMAN-Kalimantan Timur)
Petrus Asuy (Foto: AMAN-Kalimantan Timur)

Tokoh masyarakat adat Dayak Benuaq, Petrus Asuy, meraih penghargaan “Equator Prize” dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNDP. Hadiah bergengsi ini diberikan dalam KTT Perubahan Iklim di Paris pekan ini.

Perjuangan Petrus Asuy mempertahankan komunitas masyarakat dan hutan adat Dayak Benuaq di Muara Tae, kecamatan Jempang, kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur sejak tahun 1999 tampaknya memang tidak sia-sia. Pertengahan pekan ini UNDP menganugerahinya “Equator Prize” yang khusus diberikan kepada 20 tokoh dunia yang dinilai berjasa besar memerangi kemiskinan, melindungi alam dan memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim.

Diwawancarai VOA sebelum berangkat ke Paris, Petrus Asuy mengatakan sangat bahagia dengan pengakuan dunia ini, mengingat beban yang dirasakannya ketika mempertahankan keberadaan komunitas dan hutan adat itu juga tidak kecil.

“…Dalam perjuangan selama ini kami banyak mendapat beban, bukan dukungan, mulai dari serangan, intimidasi dan aksi kekerasan dari aparat keamanan dan perusahaan. Tapi kami berjuang terus karena jika kami tidak memperjuangkannya, tidak ada orang lain yang akan melakukannya. Kami berjuang untuk kehidupan jangka panjang… anak cucu kita. Perusahaan kelapa sawit dll tidak pernah memperhatikan kehidupan masyarakat setempat, mereka hanya peduli sendiri. Jika kami tidak berjuang maka kehidupan masyarakat adat ini akan punah dan tanah kami pun musnah,” ujarnya.

Lebih jauh Petrus Asuy mengatakan keserakahan perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan pertambangan untuk menguasai tanah masyarakat adat tidak saja dilakukan dengan cara-cara politis seperti memberhentikan pejabat lokal yang semula membela hak-hak masyarakat adat dan mempersulit pengurusan dokumen atau ijin pembangunan rumah warga, tetapi juga dengan intimidasi dan kekerasan.

“Tekanannya hebat sekali. Mereka sekarang sudah mengganti pejabat-pejabat menjadi yang pro-perusahaan semua. Perjuangan saya makin berat karena baru-baru ini mereka mengangkat empat orang bekas narapidana, yang baru saja keluar dari penjara, untuk menjadi aparat desa. Coba bayangkan preman-preman yang baru keluar dari penjara sekarang diangkat menjadi aparat keamanan di desa dan bahkan jadi sekretaris desa. Mereka baru keluar dari penjara, kenapa bisa diangkat jadi aparat di kampung. Karena mereka mau mengamankan kepentingan perusahaan-perusahaan itu dan melawan kami. Tapi kami tidak goyang karena mereka memang harus kami lawan!” tambahnya.

Sebelum perusahaan-perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) kelapa sawit dan tambang ada, luas tanah adat di Muara Tae pada tahun 1971 mencapai 12 ribu hektar. Saat ini luas tanah adat hanya empat ribu hektar.

“Itu juga sisa dari tambang batubara, HTI, sawit, kayu borneo dll. Yang kita bisa selamatkan sekarang tinggal empat ribu hektar. Tapi mereka luar biasa, mereka bisa mendapat ijin perkebunan kelapa sawit yang tinggal 500 meter saja dari kampong rakyat. Ini tidak cukup untuk kami. Apalagi jika mereka terus mendesak kami.”

Ketika ditanya apakah permainan ijin ini berawal dari pemberian ijin, iya membenarnkannya. “Iya. Jika saya lihat pemberian ijin itu betul-betul tidak memperhatikan kepentingan masyarakat di desa, kabupaten dll. Mereka hanya tahu kepentingan perusahaan. Mereka hanya mengutamakan pengusaha. Jadi memang ini kesalahan pemerintah kita sendiri. Jadi kami merasa sedih ketika berjuang karena seperti melawan ibu-bapak kami sendiri,” katanya lagi.

Suku adat Dayak Benuaq diketahui hidup dari hasil “ladang bergilir” di daerah pegunungan. Mereka biasa menanam padi gunung, jagung, pisang, tebu dan buah-buahan, yang hasilnya dikonsumsi sendiri atau dijual ke kota.

“Nah jika tidak ada lahan, bagaimana kami bisa hidup. Kami tidak bisa berdagang atau jadi nelayan. Mungkin ada yang beralih jadi seperti itu, tapi sedikit sekali dan akhirnya menyerah. Maka hutan harus dipelihara, dijaga, dirawat untuk hidup dan kami tidak bisa tinggal di lahan yang sempit, kami secara turun menurun hidup di lahan yang luas,” kata Petrus.

Untuk mencegah pengambilalihan hutan rakyat oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan tambang, kini banyak warga adat yang membangun pos-pos jaga di pinggir ladang mereka. Warga juga sudah menyiapkan enam ribu bibit tanaman lokal seperti gaharu dan ulin untuk merehabilitas hutang adat yang digusur secara sepihak.

Ketika ditanya apa yang akan dilakukannya dengan hadiah uang sebesar 10 ribu dolar yang didapatnya dari UNDP, Petrus Asuy dengan terbata-bata mengatakan ingin membeli mobil supaya bisa dipergunakan semua warga adat Dayak Benuaq.

Petrus mengatakan, “Saya ingin semua warga adat menikmati kemenangan ini. Kami sudah diskusikan dan ingin membeli mobil yang bisa dipakai semua warga adat. Bisa untuk transportasi di hutan, untuk menjaga hutan dan untuk kebutuhan kami sehari-hari.”

Masyarakat adat Dayak Benuaq di Kutai Barat, Kalimantan Timur kini hanya tinggal sekitar 500 KK dengan jumlah penduduk asli sekitar dua ribu orang. [em/al]

XS
SM
MD
LG