Tautan-tautan Akses

Pemilih Diaspora Indonesia Ajak Cek Fakta Informasi Politik dari Media Sosial


Seorang pria memegang ponsel pintar dengan ikon untuk aplikasi jejaring sosial Facebook, Instagram dan Twitter yang terlihat di layar, 23 Maret 2018. (Foto: AFP)
Seorang pria memegang ponsel pintar dengan ikon untuk aplikasi jejaring sosial Facebook, Instagram dan Twitter yang terlihat di layar, 23 Maret 2018. (Foto: AFP)

Media sosial makin banyak digunakan sebagai sumber informasi, termasuk jelang pemilu AS kali ini. Tak pelak, batas antara konten media sosial dan berita makin melebur. Lalu bagaimana diaspora Indonesia yang akan memilih pada pemilu AS kali ini menyaring informasi politik?

Dalam pemilihan umum (pemilu) Amerika Serikat kali ini, peran media sosial menjadi sorotan karena berita yang belum dikonfirmasi bisa beredar dengan cepat. Akibatnya, banyak pengguna terlanjur percaya, meski belum ada pernyataan yang menyanggah atau membenarkan.

Fungsi media sosial kini sudah bergeser dari hanya sebagai ajang untuk eksistensi diri, menjadi tempat berbagi dan mencari informasi, termasuk juga isu-isu saat pemilihan umum. Konten dan tampilan media sosial yang lebih menarik daripada situs berita, turut mempengaruhi pergeseran fungsi itu.

Hasil jajak pendapat Pew Research Center 2020 menunjukkan 18 persen warga Amerika mendapatkan berita politik mereka dari media sosial. Bahkan, untuk kelompok usia 18-29 tahun, angkanya mencapai 48 persen.

Salah seorang diaspora Indonesia, George Mark. (Foto: VOA)
Salah seorang diaspora Indonesia, George Mark. (Foto: VOA)

Diaspora Indonesia, George Mark, mengaku banyak belajar dari media sosial.

“Anda akan terkejut, ada banyak platform berita yang membuat akun TikTok. Jadi saya melihat itu, lalu merasa, OK, saya belajar sesuatu lewat media sosial,” ujar George yang juga pendukung Partai Demokrat.

Namun, bagi Katherine Antarikso, seorang diaspora Indonesia lainnya, media sosial membantunya memberi perspektif tentang sejumlah isu.

Katherine Antarikso, anggota Pejuang Indonesia Coalition. (Foto: VOA)
Katherine Antarikso, anggota Pejuang Indonesia Coalition. (Foto: VOA)

“Saya mencoba untuk mengikut teman yang bisa berbagi pandangan analitis mereka terkait berita. Jadi saya tidak mendapat berita dari media sosial, tapi saya dapat perspektifnya dari situ,” katanya.

Indah Nuritasari yang menerbitkan media diaspora, Indonesian Lantern di Philadelphia, menekankan perbedaan antara berita dengan konten media sosial. Perbedaan itu, katanya, terkait pada opini dan perspektif.

Ia menceritakan pengalaman yang kurang menyenangkan ketika Indonesian Lantern menyampaikan “suara” yang berbeda dari apa yang beredar di media sosial, tetapi berdasarkan fakta.

Indah Nuritasari, diaspora Indonesia yang menerbitkan media diaspora, “Indonesian Lantern” di Philadelphia. (Foto: Video VOA)
Indah Nuritasari, diaspora Indonesia yang menerbitkan media diaspora, “Indonesian Lantern” di Philadelphia. (Foto: Video VOA)

Indah menuturkan bahwa banyak pembaca yang kurang memahami bahwa di dunia jurnalistik berlaku prinsip cover both sides. Maksudnya, menyajikan berita yang berimbang dan obyektif.

“Kami berusaha untuk cover both sides. Dan itu yang masih belum bisa dipahami kalau berita dan opini adalah dua bentuk jurnalistik yang berbeda,” papar Indah

Dalam pemilu AS kali ini pun, diaspora Indonesia mengaku mencoba untuk membuka dialog dengan mereka yang berseberangan pendapat. Hal itu diungkapkan Ingrid Tenggara, diaspora Indonesia pendukung Partai Republik.

"Saya mencoba untuk berhati-hati sebelum mengangkat beberapa topik. Untuk teman-teman dekat, saya akan bertanya, ‘kira-kira apa pendapatmu tentang hal ini?” katanya.

Sementara Rania Bakhri, diaspora Indonesia pendukung Partai Demokrat, mengatakan diskusi antara dirinya dengan teman-teman di sekolah dan orang yang dikenalnya, berjalan baik.

Rania Nurita Bakhri salah satu relawan Pejuang indonesia Coalition.(Foto: VOA)
Rania Nurita Bakhri salah satu relawan Pejuang indonesia Coalition.(Foto: VOA)

“Karena kita bisa setuju dengan satu hal, tapi juga tidak setuju dengan yang lain. Namun, menurut saya, jika berdebat di internet itu tidak realistis karena tidak ada yang mau mendengar,” tuturnya.

Yang tak kalah penting dalam menyikapi kesimpangsiuran informasi di media sosial, imbuh George Mark, adalah mengecek fakta dari informasi yang diperoleh.

“Kadang-kadang, kalau kita lihat Instagram atau story seseorang, kita harus lebih bijak dan tidak menerima hal seperti yang kita lihat. Lakukan riset sendiri,” katanya.

Hal senada juga diungkapkan diaspora Indonesia pendukung Partai Republik, Wijoyo Pranoto. Menurutnya segala informasi terkait pilpres dapat dicek melalui mesin telusur web.

“Ikut di pemilu ini, untuk tahu apa sih yang mereka bawa. Dan itu sangat accessible (mudah diakses.red). Apalagi hari ini kita bisa lihat di Google,” ujarnya.[vg/ah/ft]

XS
SM
MD
LG