Tautan-tautan Akses

Pembatalan SKB 3 Menteri Soal Seragam Sekolah Disesalkan


Para pelajar putri SMA di Banda Aceh mendengarkan instruksi bagaimana menghadapi gempa bumi (Foto: Reuters).
Para pelajar putri SMA di Banda Aceh mendengarkan instruksi bagaimana menghadapi gempa bumi (Foto: Reuters).

Mahkamah Agung (MA) hari Jumat (7/5) membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang seragam sekolah. Namun, keputusan MA itu disesalkan banyak pihak.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan cepat menanggapi keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan SKB 3 Menteri. SKB tersebut mengatur tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, serta tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Komisioner KPAI, Retno Listyarti, mengatakan pihaknya menghormati keputusan majelis hakim MA yang menangani perkara ini. Namun, KPAI menyayangkan keputusan majelis hakim atas uji materi yang membatalkan SKB 3 Menteri tersebut.

Retno Listyarti, 26 Maret 2021 (Foto:Facebook).
Retno Listyarti, 26 Maret 2021 (Foto:Facebook).

KPAI mendukung SKB 3 Menteri itu karena hanya berlaku di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah (pemda) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kebijakan itu dinilai sudah tepat.

"Karena peserta didik yang bersekolah di sekolah negeri berasal dari berbagai suku maupun agama yang berbeda. Sehingga sangat tidak tepat jika di sekolah negeri mengatur ketentuan penggunaan seragam sekolah dengan didasarkan pada agama tertentu," kata Retno melalui keterangan resminya kepada VOA, Jumat (7/5).

Ditambahkannya, penyelenggaran pendidikan di sekolah-sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemda sudah seharusnya memperkuat nilai-nilai kebangsaan, persatuan dan kesatuan, serta tempat menyemai keragaman. Pasalnya, sekolah negeri memiliki peran penting serta tanggung jawab dalam menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Siswa terlihat mengenakan masker pelindung wajah setelah pemerintah Indonesia membuka kembali sekolah dengan menerapkan proses pembelajaran tatap muka di tengah wabah Covid-19 di Bekasi, di pinggiran Jakarta, 13 Juli 2020. (Foto: Antara/Fakhri Hermansyah/
Siswa terlihat mengenakan masker pelindung wajah setelah pemerintah Indonesia membuka kembali sekolah dengan menerapkan proses pembelajaran tatap muka di tengah wabah Covid-19 di Bekasi, di pinggiran Jakarta, 13 Juli 2020. (Foto: Antara/Fakhri Hermansyah/

Pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, serta tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemda merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama.

"Hal tersebut sesuai dengan Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Di mana prinsip penyelenggaraan pendidikan di sekolah harus demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, serta kemajemukan bangsa," jelasnya.

Masih kata Retno, mendidik perilaku yang baik kepada anak-anak harus dilakukan dengan cara-cara yang baik dan didasarkan pada kesadaran dirinya, bukan atas dasar paksaan, termasuk mendidik mengenakan jilbab atau menutup aurat.

"Kesadaran dibangun melalui proses dialog memberikan pengetahuan, memberikan kebebasan memutuskan dan orang dewasa di sekitar anak memberikan contoh atau role model," ujarnya.

Dalam hal ini KPAI menilai anak perempuan seharusnya diberikan kebebasan dalam menentukan apa yang dikenakan. Ketentuan dalam SKB 3 Menteri ini secara prinsip mengatur bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam serta atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.

"Dengan kata lain, hak untuk memakai atribut keagamaan merupakan wilayah individual. Individu yang dimaksud adalah guru, murid, dan orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut," ungkap Retno.

Siswa SMP terlihat melalui lubang di dinding saat mengikuti pembelajaran di gedung sekolah sementara di Bantul, Yogyakarta, 25 Mei 2007. (Foto: REUTERS/Dwi Oblo)
Siswa SMP terlihat melalui lubang di dinding saat mengikuti pembelajaran di gedung sekolah sementara di Bantul, Yogyakarta, 25 Mei 2007. (Foto: REUTERS/Dwi Oblo)

Menurut KPAI, SKB 3 Menteri ini telah sesuai dengan HAM dan sejalan dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan SKB menjamin bahwa pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam serta atribut dengan kekhususan agama.

"Artinya peserta didik maupun pendidik yang sudah mengenakan jilbab karena kesadaran dan keinginannya sendiri dapat menggunakan jilbab. Bagi yang belum siap mengenakan atau tidak bersedia mengenakan jilbab juga diperbolehkan," ucap Retno.

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, KPAI mendorong agar Kemendikbud-Ristek, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri untuk terus mencari jalan lain demi melindungi anak-anak perempuan Indonesia. Perlindungan itu diberikan terkait pemaksaan maupun pelarangan mengenakan seragam dan atribut kekhasan agama di sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemda.

Putusan MA Perlu Dieksaminasi

Sementara, Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, menilai diperlukan sebuah langkah mekanisme eksaminasi terkait putusan MA yang membatalkan SKB 3 Menteri itu.

Anggota Komnas Perempuan Andy Yentriyani. (Foto: Courtesy/Eva Tobing untuk Wikimedia)
Anggota Komnas Perempuan Andy Yentriyani. (Foto: Courtesy/Eva Tobing untuk Wikimedia)

"Kita perlu baca dahulu rumusannya seperti apa. Mungkin ini akan menjadi ruang kita bersama untuk melihat ulang apakah melalui mekanisme eksaminasi publik ataupun melalui ruang lainnya seperti mengajukan gugatan," ungkapnya dalam sebuah diskusi daring, Jumat (7/5) malam.

Atas putusan MA tersebut. Komnas Perempuan pun berharap agar MA, terutama para majelis hakim, agar mau membuka diri untuk berdialog dengan masyarakat sipil atau kementerian lembaga terkait SKB 3 Menteri itu.

"Karena itu ruang deliberasi di dalam judicial review yang bisa juga memuat partisipasi publik secara substantif itu penting sebenarnya untuk menjaga integritas hukum nasional dan demokrasi kita," pungkas Andy.

LKAAM Ajukan Judicial Review

Sebelumnya, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat mengajukan permohonan dengan perkara nomor: 17/P/HUM/2021, terkait SKB 3 Menteri. Lalu, MA membatalkan SKB 3 Menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, serta tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Majelis hakim MA yang menangani perkara ini menilai SKB tentang penggunaan pakaian seragam bertentangan dengan Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah; Pasal 1 angka 1 UU 35/2014 tentang perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Kemudian Pasal 1 angka 1 dan 2 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan Pasal 1 angka 1 dan 2, Pasal 3, dan Pasal 12 ayat (1) huruf a UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

MA kemudian memerintahkan Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri agar mencabut SKB tersebut karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. [aa/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG