Tautan-tautan Akses

Pejabat PBB dan Taliban Bahas Isu Larangan Kerja di LSM bagi Staf Perempuan 


Para perempuan Afghanistan meneriakkan slogan-slogan dalam aksi protes menentang larangan pendidikan universitas bagi kaum perempuan, di Kabul, Afghanistan, Kamis, 22 Desember 2022 (foto: dok).
Para perempuan Afghanistan meneriakkan slogan-slogan dalam aksi protes menentang larangan pendidikan universitas bagi kaum perempuan, di Kabul, Afghanistan, Kamis, 22 Desember 2022 (foto: dok).

Seorang pejabat senior PBB di Afghanistan bertemu dengan wakil perdana menteri pemerintahan Taliban hari Minggu (1/1) untuk mendiskusikan isu larangan bagi perempuan untuk bekerja di lembaga swadaya masyarakat yang diumumkan otoritas Afghanistan belum lama ini dalam serangkaian kebijakan yang menandai kemunduran hak-hak perempuan di negara itu.

Keputusan pemerintah Taliban untuk melarang perempuan bekerja di LSM telah memicu lembaga-lembaga bantuan internasional besar untuk menangguhkan kegiatan mereka di negara itu. Larangan itu menimbulkan kekhawatiran bahwa orang-orang akan kekurangan makanan, pendidikan, layanan kesehatan dan layanan penting lainnya, ketika lebih dari separuh populasi Afghanistan membutuhkan bantuan kemanusiaan yang mendesak.

Lembaga-lembaga bantuan telah memperingatkan bahwa larangan itu akan menimbulkan konsekuensi yang menghancurkan dan “ratusan dan ribuan” warga Afghanistan akan mati akibat keputusan Taliban.

Wakil Kepala Misi PBB di Afghanistan, Markus Potzel, bertemu dengan Maulvi Abdul Salam Hanafi di ibu kota Kabul untuk mendiskusikan masalah larangan itu, demikian juga kebijakan-kebijakan seperti melarang perempuan berkuliah.

“Melarang perempuan bekerja di organisasi nonpemerintah, menyangkal akses anak perempuan dan perempuan dewasa dari pendidikan dan pelatihan, merugikan jutaan orang di Afghanistan dan mencegah pengiriman bantuan penting bagi penduduk Afghanistan, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak,” kata misi PBB tersebut.

Potzel adalah pejabat PBB terbaru yang bertemu dengan kepemimpinan Taliban di tengah meningkatnya kekhawatiran internasional atas pembatasan kebebasan perempuan di Afghanistan.

Senin lalu (26/12), pelaksana tugas kepala misi PBB Ramiz Alakbarov menemui Menteri Perekonomian Qari Din Mohammed Hanif.

Hanif menerbitkan larangan pekerja perempuan LSM itu pada 24 Desember, diduga karena staf perempuan tidak mengenakan jilbab dengan benar. Ia mengatakan bahwa organisasi mana pun yang ketahuan tidak mematuhi peraturan, maka izin operasionalnya akan dicabut.

Lembaga-lembaga bantuan telah menyediakan layanan penting dan bantuan di tengah krisis kemanusiaan yang memburuk di Afghanistan.

Pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban pada 2021, ketika pasukan AS dan NATO berada di minggu-minggu terakhir penarikan pasukan dari negara itu setelah 20 tahun berperang, membuat perekonomian Afghanistan terpuruk dan mengubah negara itu, mendorong jutaan orang ke jurang kemiskinan dan kelaparan. Bantuan asing pun hampir seketika berhenti mengalir.

Sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap penguasa Taliban, termasuk penghentian transfer bank dan pembekuan miliaran aset asing Afghanistan telah membatasi akses mereka ke institusi-institusi global. Bantuan dana dari berbagai LSM menopang perekonomian negara yang bergantung pada donasi itu sebelum pengambilalihan Taliban.

Kepala Bantuan PBB Martin Griffiths juga akan mengunjungi Afghanistan untuk membahas larangan itu.

Pertemuan Potzel dengan Hanafi dilakukan ketika survei PBB menunjukkan bahwa sepertiga LSM yang dipimpin perempuan di Afghanistan telah dipaksa menghentikan 70% kegiatan mereka akibat pemberlakuan larangan itu, dan sepertiga di antaranya telah menghentikan kegiatan mereka.

Departemen Perempuan PBB mengatakan, 86% di antara 151 organisasi yang disurvei ada yang telah berhenti beroperasi atau hanya beroperasi sebagian.

Departemen itu juga mengatakan bahwa berkurangnya staf perempuan dalam pendistribusian bantuan telah menyebabkan dampak yang besar terhadap populasi Afghanistan. [rd/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG