Tautan-tautan Akses

Pasca Pelantikan, Ancaman Kekerasan Belum Berakhir


Pennsylvania Avenue dengan latar belakang Gedung Capitol di Washington DC, dijaga ketat pada dini hari 18 Januari 2021 menjelang upacara pelantikan sumpah Joe Biden sebagai presiden AS ke-46 di Washington, DC. (Foto: dok).
Pennsylvania Avenue dengan latar belakang Gedung Capitol di Washington DC, dijaga ketat pada dini hari 18 Januari 2021 menjelang upacara pelantikan sumpah Joe Biden sebagai presiden AS ke-46 di Washington, DC. (Foto: dok).

Pelantikan Presiden terpilih Joe Biden and Wakil Presiden terpilih Kamala Harris berlangsung dalam situasi pengamanan yang luar biasa ketat. Washington DC, khususnya kawasan Capitol Hill, seolah berubah menjadi benteng pertahanan dengan ditempatkannya banyak barikade jalan untuk menghindari munculnya kekerasan setelah kerusuhan 6 Januari oleh massa pro-Trump di gedung Kongres. Apakah ancaman kekerasan akan berakhir setelah pelantikan?

Jawabnya ternyata “tidak”. Paling tidak itu kata John Hudak, peneliti senior Brookings Institution, sebuah lembaga think-tank terkemuka di Washington.

"Menurut saya niat untuk melakukan kerusuhan akan terus berlanjut dari basis pendukung Presiden Trump. Rencana untuk melakukan kekerasan atau bahkan pembunuhan tidak akan berakhir setelah tanggal 20 Januari. Itu mungkin akan terjadi di luar Washington DC atau di tempat lain,” jelasnya.

Hudak mengatakan kepada Associated Press bahwa para perusuh pro-Trump yang menyerang Kongres diperlakukan oleh para penegak hukum AS seperti kelompok-kelompok militan Muslim.

“Cara para penegak hukum menangani para pendukung Donald Trump persis seperti cara mereka menangani al-Qaeda dan ISIS. Mereka memantau pembicaraan online, situs internet gelap, usaha-usaha untuk melakukan kekerasan terhadap Amerika Serikat dan lembaga-lembaganya serta usaha untuk membunuh anggota pemerintah. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara para pendukung presiden dengan para anggota al-Qaeda dan ISIS. Mereka adalah teroris dalam negeri, dan mereka tidak akan menggantungkan senjata dan rompi amunisi mereka. Setelah tanggal 20 Januari," imbuh Hudak.

Pendapat serupa dilontarkan Paul Joyal, pakar keamanan yang saat ini menjabat sebagai direktur pelaksana lembaga think tank National Strategies Inc.

Ia mengatakan, tidak ada alasan untuk percaya bahwa kerusuhan yang terjadi di Gedung Kongres 6 Januari lalu akan berakhir begitu saja. Kerusuhan itu sendiri, katanya, merupakan bukti bahwa ada banyak kelompok yang tak sungkan mengambil alih hukum ke tangan mereka sendiri.

Proud Boys, sebuah kelompok militan pendukung Trump, misalnya, mengatakan mereka tidak bermaksud tiarap setelah pelantikan Presiden Biden.

Di AS sendiri, terdapat puluhan kelompok milisi yang mempunyai ideologi berbeda-beda, tetapi secara umum menentang pemerintah. Meskipun tidak secara khusus menyuarakan penggunaan kekerasan, mereka sering kali adalah kelompok bersenjata dan sebagian dari mereka telah terlibat dalam demonstrasi yang diwarnai kekerasan.

Banyak di antara mereka mengatakan tindakan itu dilakukan untuk membela diri sehubungan dengan kekhawatiran bahwa pemerintah federal semakin intrusif, terutama menyangkut pengawasan senjata.

Keseriusan pihak berwenang dalam mengantisipasi kerusuhan pascaserangan terhadap Gedung Kongres 6 Januari lalu terlihat dari pengerahan pasukan keamanan.

Lebih dari 25.000 tentara Garda Nasional dikirim ke berbagai penjuru Washington, DC, untuk meningkatkan keamanan. Monumen-monumen ditutup untuk umum sampai setelah acara pengukuhan hari Rabu.

Di tengah kekhawatiran terjadi serangan dari orang dalam, Biro Investigasi Federal (FBI) juga melakukan pemeriksaan keamanan terhadap seluruh anggota Garda Nasional yang ditugaskan di Washington DC.

Maskapai-maskapai penerbangan dan bandara-bandara pun ikut berpartisipasi. Mereka melarang penumpang yang terbang ke wilayah Washington DC untuk memasukkan senjata ke dalam tas-tas yang ditempatkan di bagasi pesawat. [ab/uh]

XS
SM
MD
LG