Tautan-tautan Akses

Pakar: Vaksin Masih Efektif Lawan COVID-19 Parah


Vaksin COVID-19 produksi Pfizer-BioNTech dan Moderna menghasilkan antibodi terbanyak yang efektif dalam melawan varian baru COVID-19 (foto: ilustrasi).
Vaksin COVID-19 produksi Pfizer-BioNTech dan Moderna menghasilkan antibodi terbanyak yang efektif dalam melawan varian baru COVID-19 (foto: ilustrasi).

Tujuh vaksin COVID-19 telah menerima lampu hijau dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejauh ini. Ketika varian baru virus corona berkembang, muncul pertanyaan tentang seberapa ampuh setiap vaksin itu bekerja.

Dengan melonjaknya varian delta, berbagai laporan menunjukkan bahwa sebagian orang yang telah divaksinasi masih terinfeksi virus COVID-19. Tetapi infeksi tersebut kebanyakan ringan. Semua vaksin masih bekerja paling baik diukur dari apa pun, kata Bill Powderly, pakar kesehatan dan direktur Institut Kesehatan Masyarakat di Washington University, St. Louis, Missouri.

“Vaksin-vaksin itu sangat efektif dalam melakukan apa yang kita inginkan, yaitu melindungi orang dari penyakit serius dan kematian,” ujar Powderly.

Sejumlah infeksi di Israel baru-baru ini menimbulkan kekhawatiran bahwa beberapa vaksin lebih lemah terhadap varian delta. Tetapi, Bill Powderly mengatakan vaksin itu mencegah kasus terburuk, seperti yang ditunjukkan oleh lonjakan di negara bagian Missouri.

“Mereka menyaksikan terjadinya infeksi seperti yang dilihat orang Israel, pada orang-orang yang telah divaksinasi. Tetapi, tidak ada di antara mereka yang terinfeksi itu masuk rumah sakit. Semua rawat inap, dan sayangnya, semua kematian, terjadi pada orang yang belum divaksinasi,” imbuhnya.

Beberapa vaksin lebih baik daripada yang lain dalam memperkuat sistem kekebalan tubuh.

Vaksin mRNA dari Moderna dan Pfizer secara umum tampaknya menghasilkan antibodi paling banyak, diikuti oleh vaksin vektor virus: Johnson & Johnson, vaksin Oxford University-AstraZeneca dan Sputnik V.

Vaksin yang menggunakan virus yang dilemahkan seperti Sinovac dan Sinopharm dari Tiongkok berada di ujung bawah skala kemanjuran.

Seorang petugas kesehatan menyiapkan vaksin Sinopharm untuk vaksinasi COVID-19 di Beijing, China (foto: dok).
Seorang petugas kesehatan menyiapkan vaksin Sinopharm untuk vaksinasi COVID-19 di Beijing, China (foto: dok).

Semua vaksin menghasilkan antibodi yang cukup untuk melawan strain asli, tetapi tingkat antibodi berperan lebih penting terhadap varian-varian baru, kata Peter Openshaw, guru besar kedokteran di Imperial College London dalam wawancara. “Mungkin dengan vaksin yang sedikit kurang kuat yang tidak menginduksi respon imun yang cukup kuat, agen delta mulai menerobos, tapi masih memberi perlindungan terhadap penyakit yang lebih parah.”

Dan vaksin Pfizer, Moderna, AstraZeneca, Johnson & Johnson dan Sputnik V semuanya lebih baik daripada Sinopharm dan Sinovac dalam mengaktifkan garis pertahanan kedua tubuh, yang disebut sel T, seperti dijelaskan oleh Deborah Fuller, pakar vaksin di University of Washington, Seattle, Washington, dalam wawancara dengan VOA.

“Vaksin yang mampu menginduksi respons imun cadangan, seperti respons sel T, akan memberi perlindungan yang lebih baik terhadap beragam varian virus, daripada vaksin dari virus tidak aktif yang hanya menginduksi antibodi,” kata Fuller.

Namun, Deborah Fuller menambahkan, vaksin Sinopharm dan Sinovac sangat mirip vaksin flu tahunan: tidak sempurna, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali, meskipun ada keluhan yang didengarnya setiap tahun.

“Saya mendengar orang-orang mendapat vaksin, dan mereka berkata, 'Yah, saya tidak akan pernah mau divaksin lagi karena tetap saja saya jatuh sakit.' Dan tanggapan saya selalu: Anda tahu? Anda akan jauh lebih menderita sakit, kemungkinan masuk rumah sakit, jika Anda tidak divaksin.”

Dan, katanya, semua vaksin membantu memperlambat penyebaran virus, yang berarti lebih sedikit peluang bagi varian berbahaya untuk berkembang. [lt/ka]

XS
SM
MD
LG