Tautan-tautan Akses

Pakar PBB Mendorong Kriminalisasi Apartheid Gender


Seorang perempuan Afghanistan bersama anaknya berada di sebuah rumah sakit menyusul kenaikan kasus pneumonia di Kabul, Afghanistan, pada 17 Desember 2022. (Foto: Reuters/Ali Khara)
Seorang perempuan Afghanistan bersama anaknya berada di sebuah rumah sakit menyusul kenaikan kasus pneumonia di Kabul, Afghanistan, pada 17 Desember 2022. (Foto: Reuters/Ali Khara)

Panel pakar PBB menyerukan komunitas internasional agar secara resmi mengakui “apartheid gender” sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka menyoroti penindasan yang parah terhadap perempuan dan anak perempuan di bawah rezim seperti Taliban di Afghanistan.

Kelompok ahli beranggotakan lima orang dari AS, China, Meksiko, Uganda dan Serbia, yang berafiliasi dengan badan hak asasi manusia PBB itu, mengatakan bahwa pengakuan tersebut sudah lama tertunda.

“Apartheid gender bukan hanya kemungkinan teoritis atau konstruksi hukum namun ancaman nyata dan kenyataan hidup bagi jutaan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia. Ini kenyataan yang saat ini tidak secara eksplisit dikodifikasikan dalam hukum internasional,” kata para pakar itu dalam pernyataan PBB pada Selasa (20/2).

Dengan menyoroti Afghanistan sebagai contoh nyata, para pakar itu mengklaim bahwa pemerintahan de facto Taliban telah melembagakan sistem “diskriminasi, penindasan, dan dominasi” berbasis gender.

Sejak merebut kekuasaan, Taliban melarang perempuan dan anak perempuan bersekolah, melarang bekerja dalam banyak bidang, melarang bepergian untuk rekreasi, dan melakukan perjalanan jarak jauh tanpa muhrim.

“Undang-undang, kebijakan dan praktik negara yang menempatkan perempuan pada kondisi yang sangat timpang dan penindasan yang ekstrem, dengan tujuan untuk secara efektif mencabut hak asasi mereka, mencerminkan inti dari sistem apartheid,” kata para pakar PBB.

Mereka mendesak Komisi Keenam Majelis Umum PBB untuk mempertimbangkan penambahan apartheid gender dalam Pasal 2, yang membahas pencegahan dan hukuman bagi kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam setahun terakhir, beberapa organisasi HAM dan aktivis hak-hak perempuan telah menyampaikan seruan serupa, mendesak komunitas internasional agar bertindak atas kebijakan Taliban yang represif.

"Pembela hak asasi perempuan Afghanistan menekankan bahwa Taliban tidak hanya gagal menegakkan hak-hak perempuan, tetapi bahwa penindasan terhadap perempuan adalah inti dari sistem pemerintahan mereka dan bagian inti dari filosofi mereka," kata Karima Bennoune, profesor hukum internasional di Fakultas Hukum University of Michigan dalam komentar tertulis kepada VOA.

Meskipun tidak diakui internasional dan terkena sanksi terorisme, otoritas Taliban mempertahankan pembatasan berbasis gender. Alasannya, itu sesuai ajaran Islam dan nilai-nilai tradisional. [ka/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG