Tautan-tautan Akses

Minyak Kelapa Sawit Jadi Fokus Perjanjian Perdagangan Swiss-Indonesia


Patung Helvetia di depan Gedung Parlemen Swiss (Bundeshaus) di Bern, Swiss, 13 Maret 2020. (REUTERS / Denis Balibouse)
Patung Helvetia di depan Gedung Parlemen Swiss (Bundeshaus) di Bern, Swiss, 13 Maret 2020. (REUTERS / Denis Balibouse)

Para pemilih Swiss akan memutuskan tentang perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Indonesia pada Minggu (7/3). Isu utamanya adalah tarif impor minyak kelapa sawit. Berbagai jajak pendapat memprediksi referendum itu akan berlangsung ketat.

Swiss menandatangani perjanjian itu dengan Indonesia pada 2018 bersama para anggota Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA), Norwegia dan Liechtenstein.

Di bawah FTA, kedua pihak akan secara bertahap mengurangi atau menghapus tarif-tarif impor pada produk-produk industri. Untuk minyak kelapa sawit, Swiss akan mengurangi tarif sekitar 20-40 persen untuk berat hingga 12.500 ton per tahun, tapi hanya jika standar kesinambungan dipenuhi.

Indonesia adalah produsen utama minyak kelapa sawit dunia, yang digunakan dalam produk kosmetik, makanan dan bahan bakar hayati. Industri minyak kelapa sawit menghadapi kritikan dari para aktivis lingkungan dan konsumen. Mereka menyebut minyak kelapa sawit bertanggung jawab atas deforestasi, kebakaran hutan dan eksploitasi pekerja.

Pemerintah merekomendasikan FTA karena perjanjian itu dikatakan akan memberi akses yang lebih baik bagi Swiss yang berorientasi ekonomi pada pasar Indonesia yang berkembang. Perjanjian itu juga akan mempromosikan produksi minyak kelapa sawit berkesinambungan karena hanya minyak bersertifikasi yang bisa menikmati pengurangan tarif.

Swiss memiliki lebih dari 30 perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara di luar Uni Eropa dan EFTA. Uni Eropa juga merundingkan perjanjian perdagangan dengan Indonesia. [vm/ka]

Recommended

XS
SM
MD
LG