Tautan-tautan Akses

Militer Indonesia Jangan Lagi Mengurus Beras dan KB 


Personel TNI dalam sebuah latihan penanggulangan teror di Jakarta. (foto: Humas TNI)
Personel TNI dalam sebuah latihan penanggulangan teror di Jakarta. (foto: Humas TNI)

Hubungan militer dan sipil di Indonesia tidak habis diperbincangkan sejak awal reformasi. Cita-cita itu seolah timbul tenggelam, terpengaruh kondisi politik dan kebijakan pemerintah berkuasa.

Prof Mohtar Mas’oed masih ingat pada pertengahan tahun 50-an, rumahnya menjadi salah satu pusat kegiatan Front Nasional. Organisasi itu awalnya merupakan Badan Kerja Sama (BKS) bentukan militer, yang berfungsi menjalin hubungan tentara dengan organisasi sipil. Front Nasional adalah bagian dari proses masuknya militer ke dalam politik di Indonesia. Dimulai dengan pendirian Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan mengikuti Pemilu 1955, sampai aktif dalam MPR dengan Fraksi ABRI di dalamnya.

Mengutip literatur yang ada, kata Mas’oed, ada beberapa prinsip dasar mengendalikan militer di sebuah negara. Indonesia sudah memiliki prinsip pertama, yaitu UU Pertahanan Negara No. 03 Tahun 2002.

Prinsip kedua adalah peran penting parlemen. Prinsip ketiga adalah ketentuan bahwa militer harus bertanggung jawab kepada pemerintah sipil. Prinsip ini sudah diterapkan oleh Gus Dur, yang ketika menjadi presiden, menunjuk pakar hukum tata negara Mahfud MD sebagai Menteri Hankam pertama dari sipil.

“Maksudnya Gus Dur bukan memerintah tentara, tetapi menyiapkan rencana undang-undang untuk mengendalikan tentara, karena dia ahli hukum. Itu artinya Gus Dur orang yang pertama menyadari bahwa tentara harus tunduk kepada supremasi sipil,” kata Mas’oed.

Mohtar Mas’oed adalah Direktur Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP), Universitas Gadjah Mada. Dia berbicara banyak mengenai sejarah keterlibatan militer dalam politik Indonesia pada Rabu sore, 10 April 2019 di Yogyakarta. Diskusi publik bertema reorganisasi militer ini digelar, antara lain untuk merespons wacana kembali masuknya peran tentara dalam pemerintahan sipil.

Para pembicara dalam diskusi reorganisasi militer Indonesia di Yogyakarta, Rabu 10 April 2019. (foto: VOA/Nurhadi)
Para pembicara dalam diskusi reorganisasi militer Indonesia di Yogyakarta, Rabu 10 April 2019. (foto: VOA/Nurhadi)

Prinsip selanjutnya, kata Mas’oed, adalah militer yang profesional dalam tugasnya. Kelompok sipil tidak selayaknya mengundang tentara dalam urusan politik. Tugas itu harus didasari netralitas politik dan nonpartisan. Lebih dari itu, intelektual dan lembaga swadaya masyarakat harus terus memantau militer agar tetap profesional.

Militer Indonesia tidak boleh masuk kembali dalam urusan sipil, seperti di era Orde Baru. Ketika itu ada istilah peran militer dalam Ipoleksosbudhankam (ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan). Bentuknya, kata Mas’oed, tentara sampai memiliki grup ludruk sendiri.

“Ketika itu, tentara juga mendampingi petugas pertanian menjamin rakyat menanam padi seperti anjuran pemerintah. Termasuk mendampingi program safari senyum Keluarga Berencana (KB),” papar Mas’oed yang disambut tawa oleh peserta diskusi.

Para anggota TNI terlibat dalam berbagai program sosial, termasuk pembersihan Sungai Citarum di Jawa Barat. (foto: ilustrasi)
Para anggota TNI terlibat dalam berbagai program sosial, termasuk pembersihan Sungai Citarum di Jawa Barat. (foto: ilustrasi)

Budaya Kekerasan Militer

Eko Prasetyo pendiri Social Movement Institute, Yogyakarta menyebut, militer Indonesia memiliki pola yang tidak sesuai dengan kehidupan sipil. Eko memberi contoh ketakutan pada apa yang disebut sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI), sebagai dasar bagi militer untuk melakukan tindakan. Misalnya pembubaran diskusi atau acara nonton bareng di kalangan aktivis dan mahasiswa, dengan alasan acara itu terkait PKI. Sayangnya, tindakan itu dilakukan tanpa dasar dan ukuran yang jelas.

“Tidak ada hantu yang permanen seperti PKI ini. Hantu itu luar biasa. Di Kediri tentara menyita buku-buku, termasuk buku terbitan kami. Bahkan buku tulisan Soekarno, ini lucu sekali,” kata Eko.

Pola pikir militer yang kaku dan tidak dinamis, tidak cocok bagi kehidupan sipil. Militer cenderung tidak menyukai kegaduhan, sementara kehidupan politik begitu ribut. Kecenderungan ini muncul sejak era Orde Baru ketika Soeharto memperkenalkan Dwi Fungsi. Tentara jauh masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Sikap itu tidak dapat diubah sampai saat ini.

Tindak kekerasan menjadi semacam pola bagi tentara dalam menyikapi sesuatu. Tindakan itu biasa dilakukan dengan memanfaatkan kelompok tertentu. Di kantor Eko sendiri, pameran lukisan bertema Wiji Thukul diserbu anggota ormas. “Yang nyerbu tanya, mana Wiji Thukul. Lha, kita juga sedang mencari WijiThukul. Sampai yang nyerbu ini tidak tahu Wiji Thukul. Begitu konyolnya kekerasan ini,” ujar Eko.

Kasus Pelanggaran HAM

Eko Prasetyo juga membahas sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia yang tidak selesai sampai saat ini. Dia mengatakan, jika Indonesia tidak dapat mengadili pelaku kejahatan HAM, batas antara kejahatan dan kebaikan akan semakin tipis. Di berbagai tempat, ada Aksi Kamisan yang digelar keluarga korban pelanggaran HAM sampai saat ini. Kata Eko, aksi itu adalah salah satu pengingat bahwa ada yang belum diselesaikan di Indonesia terkait pelanggaran HAM oleh tentara.

Mohtar Mas’oed menilai, dalam kasus pelanggaran HAM ini, ada persoalan dimana ada sikap untuk tidak melakukan apa yang tidak harus dilakukan. “Orang yang konservatif sering bilang, if not broken do not fix it, kira-kira begitu. Pertanyaannya, apa kita menunggu semua berantakan. Itu pilihan politis. Kalau keinginan kita, musti diadili,” kata Mas’oed.

Akbar Aliabbas dari Imparsial menyinggung sedikit mengenai upaya ini dikaitkan dengan kebutuhan lahirnya Undang-Undang Peradilan Militer. “Karena dengan itu, militer yang melakukan tindak pidana yang bukan terkait isu-isu kemiliteran, bisa diadili di peradilan umum. Maka, UU Peradilan Militer akan menjadi pintu masuk untuk memutus impunitas dari para pelanggar HAM,” papar Akbar.

Militer Jangan Lagi Mengurus Beras dan KB
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:51 0:00

Selama ini, anggota militer yang melakukan pelanggaran hukum diadili di pengadilan militer. Dalam praktiknya, masyarakat sipil tidak dapat memantau penerapan hukumnya. Akbar memberi contoh, ada anggota militer yang sebelumnya diajukan ke pengadilan, tetapi setelah sekian lama justru terdengar ia menerima promosi jabatan. Dengan dasar hukum yang baru, kejadian itu tidak akan terulang lagi. Sayangnya, dalam 15 tahun terakhir, pemerintah tidak memberi jawaban yang tegas, mengenai tuntutan terhadap RUU ini. [ns/uh]

Recommended

XS
SM
MD
LG