Tautan-tautan Akses

Militer AS Didorong untuk Cegah Kematian Warga Sipil dalam Operasinya


Seorang tentara AS tampak berjalan melalui kebun buah-buahan dalam patroli di salah satu desa di wilayah barat Irak. (Foto: AP/Susannah George)
Seorang tentara AS tampak berjalan melalui kebun buah-buahan dalam patroli di salah satu desa di wilayah barat Irak. (Foto: AP/Susannah George)

Militer Amerika dinilai perlu menyesuaikan perencanaan, pelatihan, penargetan dan penggunaan senjata untuk mencegah meluasnya kematian warga sipil dan kerusakan, seperti dalam pertempuran tahun 2017 untuk membebaskan kota Raqqa di Suriah dari kelompok gerilyawan ISIS; demikian petikan laporan terbaru lembaga think-thank RAND yang dirilis pada Kamis (31/3).

Laporan yang diminta oleh Pentagon itu mencerminkan kritik terhadap kampanye serangan udara militer yang menurut beberapa perkiraan menewaskan lebih dari 1.600 warga sipil di Raqqa, ketika pasukan koalisi pimpinan Amerika berupaya menghancurkan kekhalifahan ISIS yang merebut kendali di sebagian besar wilayah Irak dan Suriah.

Juru bicara Pentagon John Kirby. (Foto: AFP/Nicholas Kamm)
Juru bicara Pentagon John Kirby. (Foto: AFP/Nicholas Kamm)

Juru bicara Pentagon, John Kirby, mengatakan laporan yang menjabarkan serangkaian rekomendasi untuk meningkatkan prosedur dan strategi militer itu akan digunakan ketika pihaknya mengembangkan rencana yang lebih luas agar warga sipil tidak menjadi korban.

“Tidak ada militer lain yang bekerja sekeras kami untuk mencegah jatuhnya korban sipil, namun hal itu masih terjadi,” ujar Kirby. “Kami akan terus mencoba belajar dari isu-isu masa lalu,” tambahnya.

RAND menyimpulkan pertempuran di Raqqa itu memberikan pelajaran penting.

Michael McNerney, penulis utama laporan RAND itu, menyebut Raqqa sebagai “kisah peringatan tentang bahaya jatuhnya korban sipil dalam pertempuran di perkotaan.” Ia mengatakan laporan ini “sedianya menjadi insentif ekstra bagi Departemen Pertahanan untuk memperkuat kebijakan dan prosedurnya guna mengurangi, mendokumentasikan dan menanggapi jatuhnya korban warga sipil.”

Laporan RAND itu mencatat adanya berbagai perkiraan korban sipil dalam pengepungan kota Raqqa, tetapi juga menekankan bahwa ketika kota itu dibebaskan dari kelompok ekstremis pada Oktober 2017, pihaknya percaya 60-80 persen kota itu sudah tidak lagi dapat dihuni.

Awalnya pasukan koalisi pimpinan Amerika memperkirakan mereka pihaknya bertanggung jawab atas 38 insiden yang melibatkan 240 korban sipil, termasuk 178 orang yang tewas. Sebuah konsorsium kelompok sipil Suriah dan internasional – termasuk Amnesty International dan Airwars – mengatakan jumlah korban “diperkirakan” mencapai 1.600 orang. Tetapi menambahkan sekitar 774 orang diantaranya dapat “diverifikasi” sebagai korban pasukan koalisi.

Laporan itu mengatakan berdasarkan jumlah mayat yang ditemukan oleh Pasukan Demokratik Suriah SDF, ribuan warga sipil kemungkinan tewas. Tetapi mereka juga kemungkinan dibunuh oleh ISIS atau kelompok pemberontak lain di kawasan itu.

“Laporan kami memusatkan perhatian pada tindakan Amerika di Raqqa, tetapi tidak diragukan lagi jika tindakan pemerintah Suriah dan mitra-mitranya – Rusia dan Iran – ikut berkontribusi lebih jauh terhadap kerusakan dan penderitaan warga sipil di Suriah secara keseluruhan,” ujar McNerney.

Laporan itu mencatat tantangan di Raqqa diperparah oleh pembatasan jumlah personil pasukan Amerika yang diperkenankan berada di sana, serta di mana mereka dapat ditempatkan. Pasukan Amerika di lapangan dapat memberi informasi yang lebih baik tentang keberadaan target dan sekaligus warga sipil, termasuk informasi soal upaya militan ISIS untuk menggunakan warga sipil sebagai tameng manusia.

RAND merekomendasikan agar militer Amerika memberi pelatihan dan bimbingan yang lebih ekstensif tentang perlunya menghindari jatuhnya korban warga sipil, merencanakan dan melaksanakan operasi dengan cara-cara tertentu sehingga mencapai tujuan tersebut.

Perubahan itu dapat mencakup perencanaan dan kajian yang lebih baik terhadap potensi kerusakan tambahan, peningkatan latihan misi dan pengumpulan intelijen, serta penggunaan serangan udara dan amunisi yang lebih selektif, dengan meminimalkan pecahnya bom menjadi kepingan-kepingan berbahaya. [em/jm]

XS
SM
MD
LG