Tautan-tautan Akses

Menjelang Pemilu, Tunisia Masih Bergulat dengan Kerusuhan


Gelombang masuknya pengungsi dari Libya merupakan salah satu tantangan yang dihadapi Tunisia menjelang Pemilu yang dijadwalkan bulan Juli mendatang.
Gelombang masuknya pengungsi dari Libya merupakan salah satu tantangan yang dihadapi Tunisia menjelang Pemilu yang dijadwalkan bulan Juli mendatang.

Dua bulan sebelum pemilu yang dijadwalkan, Tunisia masih terus mengalami perubahan, karena demonstrasi terus berlangsung, warga yang tidak puas bermigrasi ke Eropa, dan negara itu masih bergulat dengan kerusuhan yang merebak dari negara tetangganya, Libya.

Tunisia ada di barisan depan demonstrasi yang masih menggoyang dunia Arab. Pengorbanan seorang pemuda di Tunisia selatan memicu kerusuhan yang menggulingkan diktator Zainal Abidin Bin Ali yang telah lama berkuasa dalam bulan Januari dan mengilhami gerakan-gerakan anti-pemerintah serupa di tempat-tempat lain.

Sekarang negeri itu menatap ke muka. Pemilu dijawalkan bulan Juli untuk memilih anggota-anggota parlemen, yang ditugasi membentuk konstitusi baru dan menyiapkan pemilu. Puluhan partai bermunculan di panggung politik.

Fares Mabrouk, yang mengetuai Lembaga Kebijakan Arab yang baru didirikan, sebuah think tank yang berkantor pusat di Tunis, mengatakan, “Semua unsur ada di sini untuk keberhasilan peralihan di Tunisia. Ada lebih dari 70 partai, dan semua partai itu diatur untuk membahas proyek dan program mereka. Jadi sangat menyenangkan dan saat yang menarik.”

Tetapi, pemerintahan sementara Tunisia sudah mengisyaratkan kemungkinan penundaan pemilu bulan Juli itu. Demonstrasi terus berlangsung untuk mendesakkan reformasi yang lebih cepat. Perekonomian Tunisia yang dulu hebat sekarang berupaya keras untuk bangkit dan kaum muda Tunisia terus bermigrasi ke Eropa, mendorong pembicaraan untuk memperketat perjanjian perbatasan terbuka Schengen di Eropa.

Kerusuhan di Libya sudah merembes ke seluruh perbatasan Tunisia. Dalam beberapa bulan terakhir, ratusan ribu orang telah melintasi perbatasan, melarikan diri dari pertempuran itu. Menurut banyak laporan, itu termasuk istri dan puteri Moammar Khadafi dan Menteri Perminyakan Libya.

Dalam wawancara dengan Europe 1, radio Prancis, minggu ini di Paris, Perdana Menteri Tunisia Beji Caid Essebsi yang sedang melawat ke Prancis mengakui tantangan-tantangan itu.

Essebsi mengatakan kerusuhan Libya pada dasarnya adalah masalah dalam negeri. Tunisia telah memrotes dan mengancam akan membawa masalah itu ke Dewan Keamanan PBB.

Dilaporkan juga keberadaan al-Qaida di wilayah Tunisia dan kekhawatiran semakin populernya partai Islam moderat Tunisia, Ennadha.

Pemimpin-pemimpin Ennadha mengatakan mendukung demokrasi multi-partai. Dalam wawancara baru-baru ini di radio Prancis Ajmi Lourini, anggota komite eksekutif Ennadha, mencemooh orang-orang yang meragukan mereka.

Lourimi mengatakan Ennadha mendukung negara demokratis dan modern dengan pemisahan kekuasaan, adanya lembaga peradilan independen dan pers bebas.

Analis Mabrouk juga tidak membesar-besarkan kekhawatiran mengenai Ennadha.

Ia mengatakan, “Gerakan itu tidak menjadi radikal meskipun telah mengalami penindasan 23 tahun di bawah kekuasaan Bin Ali, dan banyak anggotanya disiksa dan dipenjara. Ennadha akan menjadi salah satu partai politik terkemuka dalam arena politik yang sekarang terbuka dan demokratis. Ennadha juga populer.”

XS
SM
MD
LG