Tautan-tautan Akses

Masyarakat Sipil Tolak Living Law dalam RKUHP


Para peserta pertemuan masyarakat adat berfoto di sela pertemuan yang berlangsung dekat Medan, Sumatra Utara, 17 Maret 2017. Aktivis mengatakan masuknya living law seperti hukum adat dalam RKUHP berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.(Foto: Reuters)
Para peserta pertemuan masyarakat adat berfoto di sela pertemuan yang berlangsung dekat Medan, Sumatra Utara, 17 Maret 2017. Aktivis mengatakan masuknya living law seperti hukum adat dalam RKUHP berpotensi mengkriminalisasi masyarakat.(Foto: Reuters)

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Wakil Ketua Advokasi YLBHI, Era Purnama Sari mengatakan masuknya living law seperti hukum adat dalam RKUHP akan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat. Menurut Era, potensi tersebut dapat terjadi jika tafsir tersebut diserahkan kepada aparat penegak hukum.

Apalagi, kata dia, living law yang dalam masyarakat Indonesia sangat banyak. Karena itu, akan sulit menentukan living law mana yang akan digunakan pijakan bagi penerapan pidana.

"Bagaimana negara akan menentukan menurut hukum adat yang mana pelanggarannya. Karena indikatornya masing-masing berbeda-beda. Ketujuh, ini berbahaya lagi. Kalau betul bahwa hukum yang di dalam masyarakat tidak ditafsirkan sebatas hukum adat, maka ini penyalahgunaan atau kriminalisasi itu berbahaya," jelas Era Purnama Sari di kantor YLBHI, Senin (26/8).

Masyarakat Sipil Tolak Living Law dalam RKUHP
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:55 0:00

Era menambahkan living law atau hukum adat di masyarakat sangat dinamis dan fleksibel. Sehingga, kata dia, hukum adat akan mati jika diletakkan dalam RKUHP yang kaku.

Rumusan living law tercantum dalam RKUHP Pasal 2 ayat 1 dan 2. Adapun bunyi Pasal 2 ayat 1, yaitu “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-undang ini.”

Sedangkan Pasal 2 ayat 2 berbunyi, “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.”

Ki-ka: Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tommy Indyan saat berdiskusi soal living law di kantor YLBHI, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.(Foto: Sasmito Madrim/VOA)
Ki-ka: Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tommy Indyan saat berdiskusi soal living law di kantor YLBHI, Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.(Foto: Sasmito Madrim/VOA)

Sementara itu, Aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tommy Indyan mengatakan negara memang mengakui keberadaan masyarakat adat dan hukum adat. Hal tersebut antara lain dapat Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Desa dan sejumlah peraturan menteri. Namun, pengakuan tersebut kerap tumpang tindih dengan aturan hukum satu sama lain. Semisal soal

"Kalau ada sengketa atau pidana atau apapun soal tanah misalkan yang berakibat pada pidana. Hakimnya nanya, kamu punya bukti atas tanah itu? yang ditanya sertifikat. Katanya hukum tidak tertulis (adat), kalau tidak tertulis ya tidak ada sertifikat. Yang ada adalah catatan-catatan adat yang memastikan catatan adat itu masih alam itu masih ada," jelas Tommy.

Tommy mengusulkan agar pemerintah dan DPR membuat undang-undang tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sebagai satu kesatuan masyarakat adat, sekaligus mengatasi tumpang tindih. Undang-undang tersebut mencakup masyarakat adat, wilayah adat, hutan adat, tanah adat dan hukum adat.

Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menambahkan pencantuman hukum yang hidup atau adat dalam negara bisa melegalisasi politisasi identitas. Semisal yang tercantum dalam peraturan daerah-peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan. Aturan yang diskriminatif terhadap perempuan ini juga ditemui dalam RKUHP yang memperluas pasal zina.

"Perempuan termasuk warga adat, kelompok miskin, rentan lain sering mengalami politisasi identitas karena seksualitasnya, atau agama atau kepercayaan atau etnisitas atau ras. Indonesia banyak contoh kasus-kasusnya," tambahnya.

Sulistyowati meminta pembuat RKHUP tidak memaksakan hukum yang hidup atau adat yang mengandung unsur moral sebagai hukum negara. Menurutnya, hukum harus dirumuskan dengan berdasar pada pengalaman dan realitas perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Menanggapi hal tersebut, anggota Panitia Kerja RKUHP DPR RI, Arsul Sani mengatakan tidak akan menghilangkan living law dalam RKUHP. Menurutnya, pasal tersebut untuk menghormati living law atau hukum adat yang sudah ada di Indonesia.

"Kita ini hidup di negara dimana sistem hukumnya tidak tunggal. Ada sistem hukum barat yang kita warisi dari penjajah Belanda, ada sistem hukum Islam, dan ada juga sistem hukum adat yang tidak tertulis. Nah living law yang ada di KUHP ini ditujukan untuk menghormati hukum adat yang pada kenyataan ada di negara kita," jelas Arsul Sani saat dihubungi VOA, Selasa (27/8/2019).

Arsul Sani menjelaskan setidaknya ada 2 pilihan bentuk living law yang masih menjadi pembahasan DPR dan pemerintah. Keduanya yaitu peraturan daerah dan kompilasi hukum adat yang akan berlaku di daerah masing-masing.

Arsul menegaskan pencantuman living law ini tidak menakutkan dan akan mengkriminalisasi masyarakat adat seperti yang dibayangkan sejumlah LSM dan akademisi.

Pemerintah dan DPR menyepakati akan melakukan pembahasan akhir rumusan RKUHP pada 29-30 Agustus 2019 dan siap mengesahkannya pada September 2019.[sm/ka/ft]

Recommended

XS
SM
MD
LG