Tautan-tautan Akses

Makanan Asia Makin Populer di Amerika


Seorang berbelanja makanan Asia di sebuah toko di Fairfax, Virginia (foto: ilustrasi).
Seorang berbelanja makanan Asia di sebuah toko di Fairfax, Virginia (foto: ilustrasi).

Pada abad ke-20 ini makanan Asia yang umumnya dikenal warga AS adalah cap-cay atau mie-goreng, atau masakan ala Cina lainnya. Tetapi kini warga AS bisa memilih restoran yang menyajikan masakan Jepang, Thailand, Korea, India, Birma dan negara Asia lainnya.

Dalam film dokumenter “Off the Menu”, sutradara Grace Lee melakukan perjalanan untuk menjelajahi bagaimana masakan itu mencerminkan evolusi Asia Pasifik Amerika.

Sutradara Grace Lee mengatakan selama lebih dari 20 tahun warga Amerika semakin mengenal masakan Asia karena pengaruh masyarakat Amerika keturunan Asia dan imigran Asia. Lee sendiri adalah warga Amerika keturunan Korea.

‘’Misalnya saja saya. Saya dibesarkan pada tahun 1980an di Columbia, Missouri, dimana hanya ada sangat sedikit warga Asia. Kami menyimpan kimchi di kulkas untuk dikonsumsi sendiri dan tidak pernah menyajikannya pada orang lain. Tetapi kini kimchi sangat populer, sebagaimana kami uraikan dalam film dokumenter itu, kimchi dibubuhkan pada quesadillas atau burger. Kimchi jadi penyedap rasa seperti sambal sriracha,” ujarnya.

Tofu atau tahu adalah salah satu makanan yang baru-baru ini menjadi sangat populer dalam menu warga Amerika, dan muncul di banyak tempat tak terduga. Di Texas, Gary Chiu – putra seorang imigran Taiwan – mengelola Banyan Foods atau pabrik tahu tertua di negara bagian itu. Ia mengatakan kepada Lee tentang sejumlah produk yang dikembangkan dan kini memasuki pasar yang lebih luas.

“Tahun 2000 kami mulai membuat tofu-eggrolls atau lumpia isi tahu, dan tahun 2005 kami mulai membuat tamales isi tahu yang merupakan gabungan unsur Asia-Texas-Meksiko,” kata Gary.

Lee mengatakan bisnis keluarga Chiu merupakan contoh bagaimana warga Amerika keturunan Asia beradaptasi dengan kebudayaan lain.

“Masakan itu tidak lagi asli Cina atau Meksiko karena ada bahan tahu, tetapi juga mencerminkan kehadiran warga Amerika keturunan Asia di Texas yang memiliki budaya Tex-Mex atau Texas-Meksiko, makanan Tex Mex, dan di pabrik sebagian besar karyawan adalah warga Amerika-Latin. Jadi mereka juga membaurkan bersama budaya mereka,” papar Lee.

Film dokumenter “Off the Menu” memaparkan peran makanan dalam kehidupan, menghubungkan keluarga, budaya dan masyarakat. Di sebuah kuil Sikh di Oak Creek, Wisconsin, Lee mengunjungi lokasi penembakan tahun 2012 dimana seorang laki-laki membunuh enam orang dalam aksi penembakan membabibuta bermotif rasial. Ketika tragedi itu terjadi, komunitas Sikh sedang mempersiapkan acara makan bersama yang disebut langer, dimana setiap orang dipersilahkan ikut.

Kini jemaah kuil itu masih membuat dan membagi-bagikan makanan secara cuma-cuma. Mereka mengatakan hal itu membantu memulihkan komunitas tersebut dan sekaligus mengisi rohani mereka.

“Kami yakin makanan itu penting adalah karena Anda tidak bisa berdoa, tidak bisa menyatu dengan Tuhan, kecuali jika Anda merasa kenyang,” kata Kaur.

Sementara Kaleka mengatakan, “Kami tidak takut pada siapapun yang datang ke kuil ini. Pintu kuil ini tetap terbuka, hati kami juga tetap terbuka, “langer” ini terbuka bagi mereka. Kami merasa dihormati ketika mereka datang kesini dan ikut dalam acara “langer” ini”.

Film ‘’Off the Menu’’ diakhiri dengan penjelajahan di Hawaii dimana sebagian besar makanannya kini diimpor. Tetapi sejarahnya tidak demikian. Saat ini sejumlah warga asli Hawaii mengumpulkan makanan seperti yang disajikan nenek moyang mereka. Hi’ilei Kawelo belajar masak dari ayahnya Gabby Kawelo.

“Seumur hidup kami berada di daerah perairan, mengumpulkan berbagai bahan pangan untuk bertahan,” tutur Gabby.

“Tetapi yang paling utama bagi keluarga kami adalah cumi. Ini sesuatu yang bertahan dalam keluarga kami selama delapan generasi,” ujar Hi'ilei.

Hi’ilei mengatakan melestarikan tradisi budaya merupakan hal penting bagi identitasnya dan melestarikan gaya hidup pulau mereka juga sangat berarti bagi keluarganya.

“Ketika kami melangsungkan “pertemuan keluarga” atau luau, kami masih mengumpulkan semuanya sendiri. Inti dari luau adalah keluarga berkumpul, dan Anda membawa sesuatu yang berasal dari apa yang ditanam atau dipanen. Ketika kita memakannya, kita mengetahui makna seluruh keahlian yang diturunkan dari generasi ke generasi. Anda mengambil sedikit makanan itu dan memakannya. Makanan itu memiliki makna spiritual. Anda merasakan cinta dan sejarah di balik makanan tersebut,” kata Gabby Kawelo.

Dengan menyajikan sejarah dan kisah di balik makanan tersebut, sutradara Grace Lee berharap “Off the Menu” bisa memberi pemahaman yang lebih baik dari pengalaman sebagai warga Amerika keturunan Asia-Pasifik. [em/jm]

XS
SM
MD
LG