Tautan-tautan Akses

Mahkamah Konstitusi Batalkan Kewenangan Pemanggilan Paksa oleh DPR


Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta (foto: dok).
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta (foto: dok).

Mahkamah Konstitusi membatalkan pasal yang memberi kewenangan kepada DPR untuk melakukan pemanggilan paksa. Banyak pihak menyambut baik keputusan itu.

Mahkamah Konstitusi baru-baru ini membatalkan pasal yang mengatur mengenai kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan pemanggilan paksa terhadap setiap orang.

Pembatalan aturan tersebut tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materi atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusywaratan Rakyat, DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus Jumat (29/6) kepada VOA mengatakan keputusan Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal pemanggilan paksa oleh DPR itu sudah tepat.

“Karena istilah panggilan paksa itu sendiri untuk kewenangan penegakan hukum saja, sementara DPR ini bukan lembaga penegak hukum. Ini adalah lembaga politik, lembaga perwakilan rakyat yang bekerja untuk dan atas nama rakyat. Jadi semestinya pemanggilan paksa itu bukan menjadi tupoksi DPR, apapun alasannya,” ujar Lucius.

Lucius menekankan tidak ada jaminan bahwa DPR tidak akan menyalahgunakan pasal pemanggilan paksa. Dia menambahkan pasal tersebut justeru menunjukkan DPR ingin membangun benteng untuk menjauhkan diri dari rakyat.

Menurutnya sejumlah pasal dalam Undang-undang MD3 memicu kontroversi karena tidak dibahas secara mendalam dan hanya dibuat untuk kepentingan sesaat atau sementara. Karena itulah, dia menilai wajar Mahkamah Konstitusi membatalkan sejumlah pasal dalam Undang-undang MD3.

Sebelumnya, Forum Kajian Hukum dan Konstitusi bareng sejumlah perseorangan menggugat sejumlah pasal dalam Undang-undang MD3 yang memuat kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa. Pada pasal 73 ayat 3 disebutkan setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil DPR tiga kali bertutur-turut, maka DPR berhak memanggil paksa melalui polisi.

Bahkan dalam pasal 73 ayat 5 disebutkan dalam menjelankan panggilan paksa, polisi bisa menyandera setiap orang paling lama 30 hari.

Mahkamah Konstitusi menilai pasal 73 ayat 3, 4, 5, dan 6 Undang-undang MD3 melanggar konstitusi. Lembaga ini juga menghapus pasal 122 ayat 1 yang mengatur poses hukum di Mahkamah Kehormatan Dewan saat ada pihak yang merendahkan martabat DPR.

Mahkamah Konstitusi mengoreksi pasal 245 ayat 1 Undang-undang MD3 dengan menghapus frasa izin Mahkamah Kehormatan Dewan, sehingga pemanggilan anggota DPR oleh pihak penegak hukum tidak perlu izin Mahkamah Kehormatan Dewan.

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengakui putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut pasal pemanggilan paksa oleh DPR itu bukan hal mengejutkan karena memang dalam pembahasan dan setelah disahkan memang memicu kontroversi.

Fadli menambahkan pimpinan DPR akan mempelajari lebih lanjut mengenai putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

“Kalau itu memang selaras dengan napas konstitusi kita, kita harus menyelaraskan dengan konstitusi, terkait persoalan persamaan kedudukan dalam hukum,” ujar Fadli.

Fadli menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final sehingga DPR harus menyusun aturan agar penerapan Undang-undang MD3 tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. [fw/em]

XS
SM
MD
LG