Tautan-tautan Akses

Mahkamah Agung AS Tetap Berlakukan Kebijakan “Title 42”


Anggota pasukan militer AS memberhentikan migran untuk tidak menyeberang ke wilayah El Paso, Texas, dari Ciudad Juarez, Meksiko, pada 20 Desember 2022. (Foto: AP/Christian Chavez)
Anggota pasukan militer AS memberhentikan migran untuk tidak menyeberang ke wilayah El Paso, Texas, dari Ciudad Juarez, Meksiko, pada 20 Desember 2022. (Foto: AP/Christian Chavez)

Mahkamah Agung Amerika Serikat, pada Selasa (27/12), memberlakukan kebijakan pembatasan era pandemi pada sektor imigrasi tanpa batas waktu, memupus harapan para aktivis imigrasi yang telah mengantisipasi berakhirnya pembatasan tersebut pada minggu ini.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung memperpanjang masa berlaku aturan yang dikeluarkan Hakim John Roberts pekan lalu. Berdasarkan perintah pengadilan, kasus itu akan diperdebatkan pada Februari mendatang, yang membuat aturan tersebut tetap berlaku hingga hakim memutuskan kasus itu.

Presiden Donald Trump pada awal pandemi menetapkan pembatasan masuknya imigran dan pencari suaka. Berdasarkan aturan itu, pihak berwenang telah mengusir pencari suaka sebanyak 2,5 juta kali dan menolak sebagian besar orang yang meminta suaka di wilayah perbatasan – dengan alasan mencegah perebakan COVID-19.

Pembatasan yang kerap disebut sebagai “Title 42” mengacu pada Undang-undang Kesehatan Masyarakat tahun 1944.

Pendukung imigrasi mengajukan gugatan hukum untuk mengakhiri Title 42. Mereka mengatakan kebijakan itu bertentangan dengan kewajiban Amerika Serikat dan masyarakat internasional pada orang-orang yang melarikan diri ke Amerika agar tidak dianiaya. Mereka juga menilai kebijakan itu sudah ketinggalan zaman karena perawatan virus corona kini sudah membaik.

Seorang hakim federal berpihak pada mereka pada November lalu dan menetapkan batas waktu hingga 21 Desember untuk mengakhiri kebijakan tersebut.

Negara-negara bagian yang cenderung konservatif mengajukan banding ke Mahkamah Agung atas putusan itu, memperingatkan bahwa peningkatan imigran akan berdampak buruk pada layanan publik dan menyebabkan “malapetaka yang belum pernah terjadi sebelumnya,” yang menurut mereka tidak akan mampu ditangani pemerintah federal.

Roberts, yang menangani masalah darurat yang masuk ke Mahkamah Agung, mengeluarkan penundaan untuk memberikan waktu kepada pengadilan untuk mempertimbangkan argumen dari kedua belah pihak.

Pemerintah federal meminta Mahkamah Agung menolak upaya negara bagian, namun mengakui bahwa mengakhiri pembatasan secara tiba-tiba kemungkinan besar akan menyebabkan “gangguan dan peningkatan sementara penyeberangan perbatasan yang melanggar hukum.”

Keputusan Mahkamah Agung itu disampaikan ketika ribuan migran telah berkumpul di sisi perbatasan Meksiko, memadati tempat-tempat penampungan dan menimbulkan kekhawatiran para aktivis yang bergulat untuk menemukan cara merawat mereka.

Masalah yang sebenarnya yang dihadapi Mahkamah Agung adalah pertanyaan prosedural yang rumit soal apakah negara-negara bagian sedianya diizinkan mengintervensi gugatan hukum tersebut, kondisi yang dianggap mengadu domba para aktivis pembela migran dengan pemerintah federal.

Sekelompok negara bagian serupa memenangkan gugatan hukum di pengadilan yang lebih rendah di distrik pengadilan berbeda, yang mencegah berakhirnya pembatasan setelah April lalu Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) mengumumkan bahwa mereka mengakhiri penggunaan kebijakan itu.

Hingga dikeluarkannya perintah hakim terkait gugatan hukum para aktivis November lalu, negara-negara bagian tidak berupaya ikut serta dalam kasus itu. Tetapi mereka mengatakan pemerintah pada dasarnya telah mengabaikan pembelaannya pada “Title 42” dan mereka harus turun tangan dalam menangani masalah tersebut. Pemerintah telah mengajukan banding atas putusan itu, meskipun belum mencoba mempertahankan “Title 42” ketika kasus hukum sedang berjalan. [em/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG