Tautan-tautan Akses

LIPI Prediksi Golput dalam Pemilu dan Pilkada akan Terus Meningkat


Pengamat politik LIPI, Syamsudin Harris (kiri) dan politisi PAN, Viva Yoga (VOA/Iris)
Pengamat politik LIPI, Syamsudin Harris (kiri) dan politisi PAN, Viva Yoga (VOA/Iris)

Berbagai hal negatif yang terjadi dalam proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia menyebabkan semakin banyaknya masyarakat tidak berminat memilih.

Dalam diskusi di gedung Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu di Jakarta, Rabu, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, Syamsudin Harris mengatakan LIPI memprediksi masyarakat yang dengan sengaja tidak memilih (golput) dalam Pemilu serta Pilkada akan terus meningkat.

Menurutnya konflik yang semakin sering terjadi di beberapa daerah dalam penyelenggaraan Pilkada, membuat masyarakat daerah lain menilai hal tersebut negatif dan tidak berminat memilih saat daerahnya menyelenggarakan Pilkada. Tingginya angka golput dalam Pilkada juga diperkirakan akan terjadi pada Pemilu tahun depan.

“Sudah jatuhin Soeharto 15 tahun, Pemilu sudah berjalan, presiden sudah berganti-ganti tapi kok masih begini-begini saja, apa yang salah? Salah satu faktor yang menyebabkan itu semua adalah memang model Pemilu kita ini yang tidak menjanjikan efektifitas pemerintahan, jadi golput itu ikut membengkak," ungkap Syamsudin Harris. "Itu hak, itu bisa digunakan, bisa tidak. Dia nggak punya beban dengan golput. Mungkin ya memang tidak melihat dampak langsung bahwa kehidupan lebih baik, ekonominya lebih baik, jangan-jangan ada Pilkada, ada Pemilu lebih miskin,” lanjutnya.

Syamsudin Harris menambahkan dari berbagai konflik dalam proses Pilkada yang terus terjadi, seharusnya Pemerintah Pusat, Pemda, KPU dan KPUD dapat membuat perubahab sistem, misalnya dengan menyelenggarakan Pilkada secara serentak.

“Konflik Pilkada itu kan sebetulnya spesifik, lebih pada kekecewaan terhadap KPUD yang tidak independen. Kemudian berlangsungnya kecurangan-kecurangan yang massif dan juga pemihakan penyelenggara Pemilu pada pasangan calon tertentu. Dalam kondisi demikian maka pelaksanaan Pilkada itu ke depan mestinya ditata ulang, supaya tidak menimbulkan kejenuhan juga dilakukan serentak," kata Syamsudin.

Menurut politisi Partai Amanat Nasinoal atau PAN yang juga anggota DPR RI, Viva Yoga Mauladi, meski PAN selalu berusaha mendorong masyarakat aktif berpartisipasi dalam Pilkada dan Pemilu, tidak bisa dipungkiri jumlah golput memang terus meningkat.

“Hal ini merupakan sebuah pertanda yang sangat berdampak pada perkembangan dan kualitas kehidupan demokrasi kedepan. Demokrasi semakin berkualitas kalau terjadi peningkatan partisipasi publik. Apabila terjadi penurunan maka kualitas demokrasi yang akan dibangun juga semakin menurun," jelas Yoga Mauladi. "Perkembangan lebih lanjut dari golput ini apabila terjadi mobilisasi politik, bisa mengarah kepada pemilih 'bisa dibeli'. Money politic akan muncul disitu,” tambahnya.

Menurut Viva Yoga Mauladi, PAN menyadari semakin tingginya jumlah golput karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap sitem Pemilu dan Pilkada. “Dia tidak memilih karena alasan tidak percaya dengan sistem yang ada. Kalau kemudian dengan sistem ini tidak mampu untuk melakukan perubahan apapun, dengan pemikiran seperti ini meskipun punya hak pilih dan sudah terdaftar tapi dia tidak akan menggunakan hak pilihnya karena dia apatis,” jelas Yoga.

Viva Yoga Mauladi juga menambahkan, semakin tingginya golput dalam Pemilu dan Pilkada juga disebabkan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap calon presiden, gubernur, bupati dan wali kota.

Recommended

XS
SM
MD
LG