Tautan-tautan Akses

Lima Tahun Undang-Undang Disabilitas, Bagaimana Pelaksanaannya?


Konvoi Motor para penyandang disabilitas saat Peringatan Hari Penyandang Cacat Internasional (foto: VOA/Petrus Riski)
Konvoi Motor para penyandang disabilitas saat Peringatan Hari Penyandang Cacat Internasional (foto: VOA/Petrus Riski)

Lima tahun sejak diundangkannya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, masih ditemukan sejumlah persoalan terkait pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Pemerintah dan para pihak diajak untuk bersama-sama merealisasikan pemenuhan amanat undang-undang ini secara sunggung-sungguh.

UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah diundangkan sejak lima tahun lalu. Sejumlah kemajuan dirasakan oleh penyandang disabilitas, terutama dalam hal formasi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang memberikan kuota 2 persen sehingga penyandang disabilitas tetap memperoleh hak untuk melamar kerja di instansi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Di masa pandemi virus corona saat ini, persoalan sulitnya mendapatkan pekerjaan lebih dirasakan para penyandang disabilitas. Ketua Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BK3S), Jawa Timur, Pinky Saptandari, meminta pemerintah lebih memperhatikan kesulitan yang dialami penyandang disabilitas dalam hal memperoleh kesempatan kerja yang layak.

“Paling banyak dikeluhkan teman-teman ini adalah masalah kesempatan memperoleh kerja yang layak. Dengan pandemi ini kan semakin menyempit peluangnya karena yang tidak disabilitas saja banyak yang mengalami PHK, apalagi mereka yang berkebutuhan khusus, disabilitas, itu juga pasti lebih sulit peluangnya,” kata Pinky Saptandari.

Para disabilitas penerima bantuan kursi roda. (foto: VOA/Petrus Riski)
Para disabilitas penerima bantuan kursi roda. (foto: VOA/Petrus Riski)

Tidak hanya pekerjaan, kelanjutan pendidikan anak-anak penyandang disabilitas juga menjadi keluhan tersendiri. Kembali Pinky Saptandari.

“Lulusan dari sekolah-sekolah ini juga mengeluh. Mereka yang sudah lulus dari SLB-SLB itu lalu mau kemana. Mereka ada yang inginnya sekolah terus, supaya statusnya jelas, karena begitu lulus sekolah mereka nganggur, tidak bekerja, itu tidak enak, tapi kalau di sekolah kan ada temannya,” lanjut Pinky.

Persoalan pendidikan juga dirasakan anak-anak sekolah luar biasa (SLB), yang tidak dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah inklusi. Meski belum mengetahui alasan pasti sulit diterimanya anak-anak disabilitas ke sekolah inklusi, namun sejumlah keluhan menyebutkan bahwa sekolah enggan repot dengan menerima siswa disabilitas. Hal ini disampaikan Abdul Syakur, guru di salah satu sekolah luar biasa di Surabaya.

Anak SLB tuna rungu menggunakan alat bantu dengar tampil menari di perayaan Hari Anak Nasional di YPAC Solo. (Foto dok. VOA/Yudha)
Anak SLB tuna rungu menggunakan alat bantu dengar tampil menari di perayaan Hari Anak Nasional di YPAC Solo. (Foto dok. VOA/Yudha)

Selain pendidikan, layanan kesehatan yang diterima penyandang disabilitas juga dirasa belum maksimal. Menurut Abdul Syakur, fisioterapi merupakan salah satu layanan yang dihilangkan dalam hal kesehatan, bagi pemilik kartu KIS maupun BPJS.

“Disabilitas itu harus ada terapi yang rutin, fisik ini ya harus fisioterapi. Beberapa tahun yang lalu itu masih bisa, yang dapat KIS, BPJS, itu bisa melakukan fisioterapi gratis di rumah sakit. Setelah dihapus fasilitas itu, sudah tidak bisa melakukan fisioterapi,” ujar Abdul Syakur.

Namun ia tetap mensyukuri adanya UU tentang Penyandang Disabilitas karena memberi pengaruh positif pada beragam bentuk layanan masyarakat, antara lain layanan di kepolisian.

“Kemudahan teman-teman mengurus SIM D, kalau itu yang non-fisik ya, yang fisiknya ada parkir khusus, ada kursi roda, ada petugas yang siap melayani teman-teman dengan baik,” imbuh Abdul Syakur.

Penyandang disabilitas dalam sebuah acara di BK3S Jawa Timur. (VOA/Petrus Riski)
Penyandang disabilitas dalam sebuah acara di BK3S Jawa Timur. (VOA/Petrus Riski)

Pemerintah melalui Kementerian Sosial telah mengupayakan perluasan jangkauan rehabilitasi sosial berbasis keluarga, komunitas dan residensial bagi penyandang disabilitas. Selain itu juga dilakukan penguatan kapasitas kelembagaan yang menangani kelompok disabilitas, sekaligus mengajak peran serta swasta dan masyarakat untuk memenuhi hak-hak disabilitas.

Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial, Eva Rahmi Kasim, mengatakan telah merencanakan pemenuhan kebutuhan disabilitas, terutama dalam hal alat bantu serta mewujudkan terintegrasinya program-program yang berkaitan dengan pemenuhan hak penyandang disabilitas.

“Tahun 2021 ini kami sedang merencanaan penyediaan alat bantu, 300 kursi roda, ini sudah lebih advance sesuai dengan standar WHO juga, kursi roda untuk anak hydrocephalus, kursi roda elektrik multi guna, kursi roda adaptif untuk penyandang disabilitas lainnya. Disamping juga menyediakan alat bantu tongkat penuntun penyandang disabilitas yang ada sensorinya,” Eva Rahmi Kasim.

Pemerintah Daerah juga berusaha memenuhi amanat undang-undang melalui pembuatan peraturan daerah (Perda) yang mengatur lebih spesifik pemenuhan hak-hak disabilitas. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan pemerintah daerah telah berkomitmen untuk menghadirkan pelayanan publik yang ramah disabilitas.

“Seluruh aspek kebutuhan penyandang disabilitas diperhatikan, infrastruktur yang ramah kepada disabilitas, termasuk akses jalan, transportasi, dan lain-lain. Jadi, kalau kita lihat di DKI Jakarta, semaksimal mungkin, sedapat mungkin, seoptimal mungkin, ruang-ruang publik, akses publik, kita memberikan penekanan dan perhatian,” kata Ahmad Riza Patria.

Lima Tahun Undang-Undang Disabilitas, Bagaimana Pelaksanaannya?
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:02 0:00


Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, menegaskan sikap wakil rakyat bersama pemerintah yang akan memastikan dilaksanakannya undang-undang tentang penyandang disabilitas dengan sungguh-sungguh, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.

“Bagaimana Undang-Undang yang kita sepakati lima tahun yang lalu bisa dilaksanakan secara benar oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Sosial, kementerian-kementerian terkait lainnya, pemerintah provinsi di seluruh Indonesa, kabupaten, kota di seluruh Indonesia, dan mengalokasikan anggaran yang memadai bagi pelaksanaan tugas dan tanggung jawab seperti yang diamantkan oleh Undang-Undang,” tandas Muzani. [pr/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG