Tautan-tautan Akses

Korsel Ingin Tinjau Kembali Perjanjian Terkait 'Perempuan Penghibur'


Para mahasiswa memegang potret almarhum mantan "wanita penghibur" Korea Selatan dalam aksi unjuk rasa anti-Jepang di depan kedutaan besar Jepang di Seoul, Korea Selatan, 30 Desember 2015. (Foto: dok).
Para mahasiswa memegang potret almarhum mantan "wanita penghibur" Korea Selatan dalam aksi unjuk rasa anti-Jepang di depan kedutaan besar Jepang di Seoul, Korea Selatan, 30 Desember 2015. (Foto: dok).

Presiden Korea Selatan Moon Jae-in mengirim pesan ke Tokyo pekan ini yang menyatakan bahwa perjanjian tahun 2015 mengenai perempuan Korea yang dijadikan budak seks oleh Jepang pada masa perang, perlu ditinjau kembali.

Mantan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye menyetujui kesepakatan mengenai 'perempuan penghibur' yang mencakup pernyataan permohonan maaf Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Pernyataan itu memuat “permohonan maaf dan penyesalan” yang samar-samar atas “pengalaman sangat menyakitkan,” dan donasi $8 juta untuk dana korban, sebagai penyelesaian politik dan hukum terakhir bagi masalah ini.

Tetapi perjanjian yang disebut bersifat final dan tidak dapat diubah itu, tidak populer di Korea Selatan dan segera dikritik oleh sebagian “perempuan penghibur” yang masih hidup. Mereka adalah bagian dari 200 ribu perempuan di Asia yang dipaksa menjadi budak seks tentara Jepang selama Perang Dunia kedua.

Para penentang perjanjian itu menginginkan permintaan maaf di depan umum yang lebih tulus dari pemimpin Jepang, yang secara spesifik menyebutkan tanggungjawab pemerintah Jepang dalam melakukan kekejaman pada masa perang itu. Mereka juga menginginkan kompensasi resmi dari pemerintah bagi para korban, bukannya donasi secara umum. [uh/ab]

Recommended

XS
SM
MD
LG