Tautan-tautan Akses

Korban Bom Kecam Pengurangan Hukuman Ba'asyir


Ulama radikal Abu Bakar Ba'asyir berbicara dengan wartawan dari balik sel tahanannya (foto: dok).
Ulama radikal Abu Bakar Ba'asyir berbicara dengan wartawan dari balik sel tahanannya (foto: dok).

Asosiasi Korban Bom Indonesia mengecam pengurangan hukuman Abu Bakar Ba'asyir oleh hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Keputusan tersebut. menurut mereka, tidak akan memberikan efek jera kepada teroris.

Ketua Asosiasi Korban Bom Indonesia (Askobi) Wahyu Adiartono kepada VOA di Jakarta mengatakan para korban sangat mengecam adanya pengurangan hukuman untuk Abu Bakar Baasyir yang terbukti bersalah dalam kasus terorisme di Indonesia.

Sebelumnya, Rabu (26/10) Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan untuk mengurangi masa hukuman pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah Abu Bakar Ba'asyir menjadi sembilan tahun. Ini memangkas enam tahun dari hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang menvonis Ba'asyir dengan hukuman 15 tahun penjara.

Menurut Wahyu Ardianto, dakwaan Ba'asyir selaku penyandang dana aksi latihan militer untuk terorisme tidak bisa dihilangkan. Pengurangan ini sangat melukai hati dan mencederai keadilan untuk para korban tindak pidana terorisme. Teroris tidak akan merasakan efek jera dengan adanya pengurangan hukuman seperti ini.

Lebih lanjut, Wahyu mengatakan pengurangan hukuman atas dasar kemanusiaan akan membuat terpidana bebas lebih cepat karena sistem peradilan Indonesia yang banyak memberi peluang remisi. "(Kita) akan merasa tidak yakin keseriusan ataupun kemampuan untuk memberantas sampai ke akar. Kita tidak usah omong akar kalau begini caranya", kata Wahyu.

"Yang namanya akar itu sampai ke paling bawah, kecil, lembut artinya semua yang terlibat mau terlibat Mereka yang membawa bomnya, atau yang terlibat mengantarkan uangnya, semua harus (terkena hukuman). Jadi jangan pilih-pilih kasih. Mereka tidak memikirkan korban sama sekali", demikian penjelasan Wahyu Adiartono, yang merupakan salah satu korban pengeboman di Hotel Marriot Jakarta tahun 2003.

Juru Bicara Pengadilan Tinggi Jakarta, Ahmad Sobari menjelaskan pengurangan hukuman terhadap Ustadz Abu, panggilan akrab bagi Abu Bakar Ba'asyir, disebabkan dakwaan utama yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dalam kasus ini dianggap tidak terbukti. Menurut Sobari, dakwaan yang terbukti pada Ba'asyir adalah memberikan fasilitas kepada pelaku tindak pidana terorisme.

Alasan pengurangan hukuman lain yang dipakai Majelis Hakim menurut Sobari adalah persoalan kemanusiaan. "Lebih subsider itu yang terbukti, yaitu memberikan kemudahan termasuk memberikan dana itu, diakui oleh Abubakar Ba'asyir sama pelaku yang menerima uang itu, itu saja pertimbangannya. Sementara apakah itu untuk membiayai terorisme, yang menimbulkan suasana teror, sengaja menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan itu tidak terbukti menurut Majelis Pengadilan Tinggi. Makanya, (Ba'asyir) dibebaskan dari dakwaan itu", demikian ungkap Ahmad Sobari.

Atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta itu, Direktur International Crisis Group Asia Tenggara, Sidney Jones, mengatakan Jaksa Penuntut Umum harus melakukan banding terkait pengurangan hukuman Ba'asyir.

Sementara itu, pengamat terorisme dari Sekolah Tinggi Ilmu Intelijen Negara, Mardigu Wowiek Prasantyo menyatakan Abubakar Baasyir merupakan sentral masalah idiologi keras. Menurut Mardigu, masalah idiologi di Indonesia tidak bisa dihukum.

Untuk itu, Mardigu berharap masalah ini juga harus dimasukan dalam revisi Undang-undang terorisme yang akan dilakukan. "Kalau pakai pasal Undang-undang teroris yang benar-benar itu (Ba'asyir) akan kena. Tapi, Undang-undang teroris kita belum selengkap itu. Ideolog itu paling berbahaya, tapi pasalnya apa sekarang?" papar Mardigu Wowiek Prasantyo, pengamat Terorisme dari Sekolah Tinggi Ilmu Intelijen Negara.

Ba'asyir sebelumnya juga pernah didakwa terkait pemboman Bali tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang dan dijatuhi hukuman 2,5 tahun penjara. Namun hukuman itu dibatalkan dalam sidang banding dan ia dibebaskan tahun 2006. Pria berusia 72 tahun ini ditahan kembali tahun lalu karena perannya dalam pelatihan militer kelompok teroris di Aceh.


XS
SM
MD
LG