Tautan-tautan Akses

Ketua WFP Memperingatkan Potensi Kelangkaan Pangan di 2023


Seorang anak laki-laki melihat rak buah-buahan dan sayuran yang hampir kosong di sebuah supermarket di Hong Kong, pada 8 Februari 2022. (Foto: AP/Kin Cheung)
Seorang anak laki-laki melihat rak buah-buahan dan sayuran yang hampir kosong di sebuah supermarket di Hong Kong, pada 8 Februari 2022. (Foto: AP/Kin Cheung)

Kepala Program Pangan Dunia (WFP) David Beasley memperingatkan kemungkinan kelangkaan pangan dunia tahun depan apabila Rusia tidak mencabut blokade ekspor biji-bijian Ukraina dan mengirim pupuknya sendiri ke pasar dunia. Peringatan itu disampaikan pada Rabu (20/7) di hadapan para anggota Kongres AS.

“Dan itu akan menjadi krisis yang belum pernah kita saksikan sebelumnya dalam hidup kita,” ia memperingatkan.

Beasley mencatat bahwa pada tahun 2008 ketika inflasi dunia dan harga pangan terakhir mengalami lonjakan yang parah, kerusuhan dan demonstrasi terjadi di hampir 50 negara.

“Situasi sekarang jauh lebih buruk dan kami sudah mulai melihat destabilisasi terjadi di banyak negara – Sri Lanka, kami melihat apa yang terjadi di Mali, Chad, Burkina Faso,” kata Beasley. “Kita menyaksikan demonstrasi dan kerusuhan di Kenya, Pakistan, Peru, Indonesia. Tidak ada habisnya.”

Selain destabilisasi dan dan potensi migrasi massal, Beasley mengatakan, sebelum invasi Rusia, jumlah orang yang berada dalam situasi sangat rawan pangan mencapai 276 juta jiwa. Sekarang, angka itu diperkirakan mencapai 345 juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, katanya, 50 juta orang di 45 negara ada di ambang kelaparan.

Beasley menyambut baik dukungan AS untuk WFP, yang berjumlah hampir $6 miliar, atau sekitar Rp90 triliun, pada tahun fiskal ini. Namun ia mengatakan negara-negara lain belum cukup berkomitmen.

“Seperti yang kami dengar, China hanya memberi kami $3 juta (sekitar Rp45 miliar),” kata Beasley. “Negara-negara Teluk, dengan harga minyak yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memperparah krisis pangan, harus meningkatkan (dukungan) dengan cara yang melampaui apa yang pernah kita lihat sebelumnya.”

Harga satu barel minyak mentah pada Rabu tercatat berada di angka $107 (sekitar Rp1,6 juta), yang secara dramatis telah meningkatkan biaya pengiriman makanan. Beasley menyampaikan kepada para anggota Kongres bahwa lembaganya, yang memang sudah kesulitan mendanai kerja-kerja mereka, kini menghadapi tambahan biaya sebesar $74 juta, atau sekitar Rp1,1 triliun, setiap bulan karena biaya pengiriman.

Kepala WFP itu secara terpisah memberi pengarahan kepada komite hubungan luar negeri Senat dan DPR AS di hari yang sama dengan pidato Ibu Negara Ukraina Olena Zelenska di hadapan Kongres AS, yang meminta lebih banyak persenjataan bagi negaranya untuk membela diri menghadapi invasi Rusia.

Sebelum invasi 24 Februari lalu, Ukraina adalah eksporter biji-bijian utama dunia, yang memproduksi cukup pangan untuk memberi makan 400 juta orang di seluruh dunia. WFP membeli separuh pasokan biji-bijiannya dari Ukraina.

“Ketika Anda menarik pasokan makanan yang cukup untuk memberi makan 400 juta orang dari pasar, apa yang Anda pikir akan terjadi? Hal itu akan menghancurkan yang termiskin dari yang miskin,” kata Beasley kepada para anggota Kongres.

Kepala WFP yang lembaganya dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada 2020 itu mengatakan bahwa ketika perang dimulai, ia mengunjungi pelabuhan selatan Odesa di Ukraina, di mana lebih dari 5 juta metrik ton biji-bijian dikirimkan setiap bulannya untuk diekspor. [rd/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG