Tautan-tautan Akses

Kedatangan Guru Bahasa China Sebabkan Ketidaknyamanan Warga Nepal


Seorang guru membantu seorang anak lelaki ketika dia menulis karakter-karakter Tibet selama kelas bahasa Tibet di Lhasa. (Foto: AP)
Seorang guru membantu seorang anak lelaki ketika dia menulis karakter-karakter Tibet selama kelas bahasa Tibet di Lhasa. (Foto: AP)

Rencana mendatangkan 100 guru bahasa China ke Nepal menyebabkan ketidaknyamanan untuk beberapa orang Nepal dan pakar internasional. Rencana tersebut dianggap sebagai usaha neo kolonialisme baru oleh China dan memperbesar kendali atas jirannya di Himalaya itu.

The Kathmandu Post melaporkan rencana itu minggu lalu, bertepatan dengan lawatan Presiden Tiongkok Xi Jin-ping ke Nepal. Laporan itu mengatakan, sasarannya adalah mengajarkan bahasa China di setiap sekolah negeri di Nepal.

Harian itu mengutip pejabat pemerintah yang mengatakan, penggunaan bahasa China secara lebih luas akan membantu ekonomi Nepal karena mendatangkan lebih banyak turis dari China. Namun tidak semua pihak yakin akan hal itu.

Para siswa Nepal ikut serta dalam protes untuk menunjukkan solidaritas terhadap blokade perbatasan di Kathmandu, Nepal, 27 November 2015. (Foto: Reuters)
Para siswa Nepal ikut serta dalam protes untuk menunjukkan solidaritas terhadap blokade perbatasan di Kathmandu, Nepal, 27 November 2015. (Foto: Reuters)

Kapil Shrestha, seorang profesor Ilmu Politik di University of Nepal, melihat kemiripan hal tersebut dengan kurun kekuasaan kolonial Inggris di India.

“Mengapa Inggris berusaha mempopulerkan bahasanya di India pada abad ke 18 dan 19,?” demikian tanya Shrestha ketika diwawacarai VOA. “China berusaha mempopulerkan bahasanya dan ini berdampak jangka panjang untuk Nepal," tambahnya.

Sumit Ganguly, pakar Asia Selatan dan profesor di Indiana University, juga skeptis dengan rencana itu.

“Saya pikir elit Nepal seharusnya faham dengan apa yang terjadi. Ini jelas sebuah usaha oleh Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya di Nepal,” kata Ganguly kepada VOA.

Sudah ada 85 sekolah, baik negeri maupun swasta, yang menawarkan kursus bahasa China di Nepal, demikian menurut Kathmandu Post. Beberapa sekolah swasta menjadikan pelajaran bahasa China sebagai mata pelajaran wajib, tetapi dalam kebanyakan kasus pengajaran bahasa China di koordinir dengan Lembaga Konfusius yang disponsori China.

Pemerintah China juga menganjurkan siswa-siswa Nepal untuk belajar di China. Pemerintah siap memberikan tunjangan kepada setiap siswa sebesar AS$360 per bulan untuk biaya hidup, menurut the Nepali Times. Bahkan dikabarkan 64.00 siswa Nepal telah terbang ke China untuk belajar pada 2017.

Ganguly menilai inisiatif Tiongkok ini disebabkan oleh persaingan kekuatan antara Beijing dan New Delhi. “Salah satu tujuan utama adalah mengurangi pengaruh India,” katanya.

India sejak lama merupakan sumber makanan, bahan bakar dan kebutuhan lain di Nepal yang merupakan negara tanpa pesisir. Pada 2015, hubungan ini mengalami ketegangan dimana India menghentikan perdagangan lintas perbatasan selama empat bulan. Banyak warga Nepal tidak senang dengan kebijakan India ini, dan hal itu telah membuka peluang untuk Beijing.

Puluhan guru dari Kota Bandung mengikuti Guru Modis (moderat, inovatif, inspiratif, dan santun), Rabu (23/10/2019) siang. (VOA/Rio Tuasikal)
Puluhan guru dari Kota Bandung mengikuti Guru Modis (moderat, inovatif, inspiratif, dan santun), Rabu (23/10/2019) siang. (VOA/Rio Tuasikal)

Shrestha dari University of Nepal mengatakan, pengalaman ini mengakibatkan banyak warga Nepal merasa mereka harus minta bantuan China.

"Amerika sudah bukan pemain global yang penting. Malah di masa lalu Amerika tidak punya banyak kepentingan di Nepal, dan kini tampaknya negara-negara maju sudah dihadapkan pada permasalahan mereka sendiri,” katanya. “Jadi Tiongkok mengambil keuntungan dari situasi tersebut," tambahnya.

Usaha Pemerintah Nepal untuk menyenangkan China terlihat nyata menjelang lawatan Presiden Xi. Dilaporkan paling sedikit 18 orang ditangkap karena mengenakan kaos oblong ditulisi “Free Tibet.” Banyak orang Tibet di pengasingan di Nepal mengatakan kepada VOA, mereka tidak berani keluar rumah selama dua hari karena takut ditangkap.

Shrestha seorang mantan anggota dari Komisi HAM Nepal, mengatakan, dua warga Tibet yang menjual kaos oblong ini masih di penjara. [jm/em]

XS
SM
MD
LG