Tautan-tautan Akses

Iran Peringatkan Uni Eropa untuk Tidak Masukan Garda Revolusioner ke dalam Daftar Teroris


Anggota Angkatan Laut dari Korps Garda Revolusioner Iran (IRGC) berlatih di wilayah selatan Iran dalam foto yang dirilis pada 17 Januari 2023. (Foto: IRGC/WANA (West Asia News Agency)/Handout via Reuters)
Anggota Angkatan Laut dari Korps Garda Revolusioner Iran (IRGC) berlatih di wilayah selatan Iran dalam foto yang dirilis pada 17 Januari 2023. (Foto: IRGC/WANA (West Asia News Agency)/Handout via Reuters)

Iran, pada Kamis (19/1), memperingatkan bahwa Uni Eropa akan “membayar harga penuh” jika memasukkan Korps Garda Revolusioner Iran sebagai entitas teroris.

Parlemen Eropa pada Kamis menyerukan untuk memasukkan Garda Revolusioner Iran ke dalam daftar teroris Uni Eropa, dan bersikeras untuk memperluas sanksi-sanksi yang menarget Iran setelah tindakan keras yang diambil oleh pemerintah Iran terhadap para demonstran di negaranya.

“Kami berharap Eropa dapat membuat keputusan yang bijak dan melepaskan diri dari dominasi tersembunyi arogansi global – Amerika Serikat dan Israel. Jika tidak maka mereka akan membayar harga penuh,” ungkap juru bicara parlemen Iran, Mohammad Bagher Qalibaf, yang juga merupakan mantan panglima Garda Revolusioner dan Kepala Kepolisian Iran.

Dalam resolusi yang tidak mengikat, badan legislatif itu mengumpulkan dukungan mayoritas untuk meminta 27 negara anggota Uni Eropa mengambil langkah semacam itu, guna melawan apa yang dinilai sebagai kemunduran cepat hak asasi manusia di Iran.

Di luar seruan untuk memasukkan organisasi itu ke dalam daftar hitam teroris, Parlemen Eropa juga ingin agar Uni Eropa melarang aktivitas ekonomi atau keuangan apapun yang dapat dikaitkan dengan Korps Garda Revolusioner Iran itu.

Amerika Serikat sebelumnya telah menetapkan korps itu sebagai “organisasi teroris asing,” dan menjatuhkan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Resolusi Parlemen Eropa tersebut, pada Kamis, disetujui setelah meluasnya demonstrasi anti-pemerintah di Iran yang telah berlangsung selama empat bulan terakhir. Demonstrasi itu dipicu oleh kematian Mahsa Amini, seorang perempuan Kurdi-Iran berusia 22 tahun yang meninggal dalam tahanan polisi, tiga hari setelah ia ditangkap polisi moral karena tidak mengenakan jilbab secara benar pada 16 September 2022.

Demonstrasi itu dengan cepat meningkat menjadi seruan untuk menggulingkan teokrasi di Iran. Rangkain aksi protes tersebut menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah Iran dalam lebih dari empat dekade.

Tanpa menunjukkan bukti apapun, Iran menuduh Amerika Serikat dan kekuatan asing berada di balik kerusuhan di negara itu.

Para demonstran mengatakan mereka muak dengan represi sosial dan politik, korupsi dan krisis ekonomi akibat salah urus dalam tata kelola pemerintahan serta penerapan sejumlah sanksi yang dilakukan pihak Barat.

Uni Eropa dengan tegas mengutuk kekerasan yang digunakan selama demonstrasi itu. [em/jm]

Forum

XS
SM
MD
LG