Pada penghujung malam Natal lalu, Uni Eropa dan Inggris akhirnya mencapai kesepakatan perdagangan Brexit. Kesepakatan dicapai setelah keduanya bertahun-tahun bertikai, saling mengancam, dan tidak memenuhi tenggat waktu untuk menyelesaikan perceraian kedua entitas itu.
Tadinya, ada harapan hubungan Inggris yang sekarang terpisah dari blok 27 negara itu akan mengarah pada situasi yang lebih tenang.
Namun menjelang Natal tahun ini, satu hal menjadi jelas - harapan seperti itu tidak akan terpenuhi.
Menteri Brexit Inggris, Selasa (12/10), menuduh Uni Eropa (UE) mengharapkan bekas anggotanya itu gagal dan menjelek-jelekkan Inggris sebagai negara yang tidak bisa dipercaya. David Frost dalam pidatonya di Lisbon mengatakan UE "tidak selalu tampak menginginkan kita berhasil" atau "kembali ke kerja sama yang konstruktif."
Ia mengatakan penulisan ulang secara mendasar kesepakatan Brexit yang disepakati bersama adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki "hubungan retak" ini. Ia memperingatkan Inggris bisa menekan tombol darurat pada kesepakatan itu jika tidak memperoleh yang diinginkannya.
"Kami terus-menerus menghadapi tuduhan bahwa kami tidak bisa dipercaya dan bahwa kami bukan aktor internasional yang masuk akal," tambah Frost menanggapi klaim UE bahwa Inggris berusaha untuk mengingkari perjanjian yang mengikat secara hukum yang sudah dinegosiasikan dan ditandatangani.
Ketegangan pasca-Brexit berubah menjadi pertikaian yang memburuk terkait isu Irlandia Utara, satu-satunya bagian Inggris yang berbagi perbatasan darat dengan sebuah negara UE, yaitu Irlandia.
Berdasarkan bagian kesepakatan Brexit yang paling rumit dan kontroversial itu, Irlandia Utara tetap berada di dalam pasar tunggal UE untuk perdagangan barang, guna menghindari perbatasan fisik dengan Irlandia yang merupakan anggota UE. [my/jm]
