Tautan-tautan Akses

Indonesia Diminta Lebih Aktif Terlibat dalam Perdamaian Suriah


Silaturahmi Nasional ke V, Ikatan Alumni Suriah Indonesia, Al Syami, Yogyakarta, 5-6 Maret 2016
Silaturahmi Nasional ke V, Ikatan Alumni Suriah Indonesia, Al Syami, Yogyakarta, 5-6 Maret 2016

Gencatan senjata yang diberlakukan di Suriah disambut positif berbagai pihak. Termasuk diantaranya ratusan intelektual muslim lulusan perguruan tinggi di negara itu, yang sudah pulang ke Indonesia.

Dalam kenangan KH Ahmad Fathir, pimpinan Pondok Pesantren Al Kenaniyah, Pulo Nangka, Jakarta, Suriah adalah negeri yang damai. Rakyatnya hidup dalam toleransi, dan ekonomi negara yang stabil sehingga bahkan masyarakat paling miskin pun terjamin kebutuhannya. Penganut Syiah dan Sunni hidup selaras tanpa konflik. Sembilan puluh persen masjid disana adalah masjid Sunni, bahkan Mufti atau pemimpin para ulama tertinggi juga seorang Sunni. Penganut Syiah dan Sunni melaksanakan ibadah di masjid yang sama.

Namun, itu adalah Suriah yang pernah dia tinggali antara tahun 2002-2007, ketika masih belajar di Universitas Damaskus. Kini, seperti semua orang tahu, Suriah adalah negeri yang hancur oleh perang. Kepada VOA, KH Ahmad Fathir yang juga Ketua Ikatan Alumni Syam, berani memastikan, bahwa konflik yang sekarang terjadi di Suriah bukanlah konflik sektarian. Oleh karena itulah, masyarakat Indonesia harus berhati-hati mengambil sikap, dengan terus mendesak solusi damai atas perang yang sudah berlangsung selama 5 tahun ini.

“Intinya kita tidak mendukung oposisi, kita juga tidak mendukung pihak yang berkuasa saat ini. Tapi yang penting bagaimana caranya, Suriah ini bisa berdamai dan kembali aman. Sikap kita itu sudah jelas sekali, menolak segala bentuk radikalisme. Itu sudah jelas kita tolak, dan seluruh mazhab menurut saya satu kata dalam hal itu,” ujar KH Ahmad Fathir.

Sekitar 150 anggota Ikatan Alumni Syam berkumpul selama dua hari, 5-6 Maret 2016 di Yogyakarta. Mereka adalah alumni berbagai perguruan tinggi di Suriah, yang menggelar Silaturahmi Nasional ke V, Ikatan Alumni Suriah Indonesia, Al Syami. Mayoritas dari mereka adalah pimpinan berbagai pondok pesantren di Indonesia.

Ketua pelaksana pertemuan ini, KH Wafi Maimoen, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar, Rembang, Jawa Tengah mengharapkan, Indonesia berperan aktif dalam penyelesaian konflik Suriah secara permanen. Putra ketujuh ulama NU kharismatik, KH Maimoen Zubair ini meminta pemerintah berkonsentrasi dalam penanganan korban konflik. Bantuan kemanusiaan yang strategis, seperti pembangunan rumah sakit, sekolah dan fasilitas publik sebaiknya diutamakan. KH Wafi Maimoen juga menegaskan, alumni Syam atau yang umum disebut sebagai Suriah, akan terlibat aktif dalam pemberantasan gerakan radikal dan meluruskan pemahaman terkait terorisme mengatasnamakan jihad. KH Wafi Maimoen sendiri adalah lulusan Universitas Al Fattah Al Islamiy, Damaskus dan berkuliah selama empat tahun disana mulai 1998.

“Memang kita merasa prihatin, merasa susah sekali dengan keadaan yang terjadi disana, karena masyaikh-masyaikh (guru) kita yang ada disana, sekarang sudah tercerai berai, dan pelajar-pelajar Indonesia yang sekarang ada disana ini mau mengaji saja susah,” ujar KH Wafi Maimoen.

Duta Besar Indonesia untuk Suriah, Djoko Harjanto mengatakan, Indonesia baru saja menyampaikan bantuan 500 ribu Dollar AS untuk penanganan pengungsi Suriah. Bantuan ini merupakan komitmen nyata Indonesia dalam mengurangi krisis kemanusiaan sebagai dampak perang. Secara resmi, sikap Indonesia dalam konflik ini adalah mendorong upaya damai dengan melibatkan seluruh pihak yang terkait. Indonesia sendiri menurut Djoko adalah satu dari sedikit negara yang masih mempertahankan kedutaaanya di Damaskus. Djoko menggarisbawahi komitmen Indonesia, bahwa sahabat yang baik tidak akan meninggalkan kawannya yang sedang berada dalam kesulitan.

“Posisi resmi pemerintah Indonesia adalah penyelesaian krisis yang terjadi di Suriah secara damai dan diplomatis. Dan tentunya kita menghargai demokrasi yang tumbuh dan berkembang disana, atau dalam istilahnya home grown democracy. Jadi setelah gencatan senjata ini, diharapkan nanti ada perundingan, meski saya yakin, bahwa perundingan itu juga tidak mudah,” ujar Djoko Harjanto.

Djoko juga menambahkan, sampai saat ini ada sekitar 1500 WNI yang bekerja di Suriah, mayoritas berada di Damaskus yang relatif masih aman. Selain itu, ada 24 mahasiswa yang sedang belajar, ditambah sekitar 20 staf kedutaan. Sebelum perang terjadi di Suriah, setidaknya ada 3000 mahasiswa yang belajar setiap tahunnya disana.

XS
SM
MD
LG