Tautan-tautan Akses

Indonesia Butuhkan UU Penanganan Konflik Sosial


Bentrokan antar kelompok masyarakat di Ambon (11/9). Pengamat menilai pemerintah wajib untuk menuntaskan masalah-masalah dan mediasi pasca konflik sosial.
Bentrokan antar kelompok masyarakat di Ambon (11/9). Pengamat menilai pemerintah wajib untuk menuntaskan masalah-masalah dan mediasi pasca konflik sosial.

Aspek negatif konflik sosial berupa perusakan patung hingga bentrokan antar pemeluk agama menjadi latarbelakang dibutuhkannya UU Penanganan Konflik Sosial di Indonesia.

Konflik sosial saat ini terus marak terjadi di Indonesia. Baru-baru ini terjadi perusakan patung wayang di Kabupaten Purwakarta oleh sekelompok massa. Perusakan itu dilakukan setelah mereka dilaporkan mendengarkan khutbah dari tokoh agama.

Peristiwa semacam ini bukan merupakan yang pertama kali, sebelumnya di Bekasi, kelompok massa yang mengatasnamakan agama menuntut agar patung tiga mojang diturunkan. Di Tanjung Balai, Sumatera Utara ada ormas mendesak penurunan patung budha atau pembubaran acara budaya di Solo, Jawa Tengah. Selain itu juga ada konflik sosial yang terjadi di Ambon beberapa waktu lalu.

Untuk itu, menurut Wakil Ketua Pansus Rancangan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial Yahya Sacarwiria, Indonesia sangat membutuhkan payung hukum yang komprehensif dan kuat agar dapat mengatasi berbagai konflik sosial yang terjadi.

Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki konsep, sistem maupun strategi penanganan konflik sosial secara menyeluruh. "Undang-undang tentang konflik sosial yang nanti bisa digunakan sebagai panduan dan kita juga melihat betapi pentingnya Undang-undang tersebut untuk memberikan rambu yang jelas kepada siapa-siapa yang harus berperan. Contohnya, siapa sih yang menjadi leading sector kalau ada penanganan masalah. Siapa yang menangani pada saat masih menjadi embrio," demikian ungkap Yahya Sacawiria.

Wakil ketua Institute for Democracy and Peace, Bonar Tigor Naipospos mendukung disyahkannya Rancangan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial menjadi Undang-undang.

Menurut Tigor, Undang-undang ini dapat menjadi alat bagi pemerintah untuk melakukan sejumlah tindakan yang bisa mencegah terjadinya konflik sosial sejak dini.

"Jadi dengan adanya Undang-undang ini menjadi jelas apa yang harus dilakukan oleh government dan kemudian menjadi jelas juga bagi kita sebagai masyarakat sipil untuk kemudian melakukan sesuatu untuk mendesak pemerintah agar menjalankan kebijakan sesuai dengan undang-undang yang ada. Itu keuntungannya saja," jelas Bonar Togar Naipospos.

Kebutuhan RUU penanganan sosial juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Wahid Institute Ahmad Suedy tetapi dengan catatan undang-undang ini tidak seperti kemanan nasional yang dimiliki Malaysia atau Singapura.

Ahmad menyebutkan penanganan konflik sosial tetap harus melakukan pendekatan sosial dan memberikan tugas kepada pemerintah untuk menyelesaikan masalah konflik. "Undang-undang yang harus dilakukan ini adalah kewajiban pemerintah untuk menuntaskan masalah-masalah pasca konflik itu seperti retitusi ekonomi kepada yang tertinggal misalnya. Dan juga mediasi konflik-konflik yang timbul pasca konflik itu sendiri," kata Ahmad Suedy.

Rencananya DPR akan mensyahkan Rancangan Undang-undang Penanganan Konflik Sosial ini pada akhir tahun 2011.

XS
SM
MD
LG