Tautan-tautan Akses

400 Huntara Siap Dibangun untuk Penyintas Bencana di Sulteng


Unit Huntara yang usai dibangun oleh Karinatas Semarang, Jawa Tengah di lokasi pengungsian Camp Terpadu PMI Desa Pombewe, Kecamatan Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa, 18 Juni 2019. (Foto: Yoanes Litha/VOA)
Unit Huntara yang usai dibangun oleh Karinatas Semarang, Jawa Tengah di lokasi pengungsian Camp Terpadu PMI Desa Pombewe, Kecamatan Sigi, Sulawesi Tengah, Selasa, 18 Juni 2019. (Foto: Yoanes Litha/VOA)

Sebanyak 400 hunian sementara siap dibangun bagi penyintas bencana gempa bumi dan likuifaksi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Huntara yang dibangun oleh Karitas Pengembangan Sosial Ekonomi PSE Keuskupan Manado, Sulawesi Utara itu diharapkan menjadi hunian layak bagi mereka.

Selasa sore (18/6), puluhan pengungsi terdampak gempa bumi dan likuifaksi asal desa Jono’oge, Kabupaten Sigi Sulawesi Tengah dengan antusias menyaksikan kegiatan peletakan batu pertama pembangunan 52 unit Hunian Sementara (Huntara) yang akan dibangun oleh Karitas PSE Keuskupan Manado, Sulawesi Utara.

Huntara itu merupakan kelanjutan dari pembangunan 50 unit sebelumnya oleh Yayasan Karitas Indonesia Keuskupan Agung Semarang. Huntara yang akan dibangun itu seolah menjadi jawaban dari doa dan harapan dari setiap keluarga di tempat itu untuk bisa tinggal di tempat yang jauh lebih layak ketimbang di tenda-tenda pengungsian yang sempit dan panas, khususnya di siang hari.

Ditemui VOA di lokasi pengungsian itu, sejumlah warga mengisahkan apa yang dihadapi selama tinggal di pengungsian pasca gempa bumi dan likuifaksi pada 28 September 2018 silam.

Uliyatin, (29), sedang menidurkan anaknya di ayunan di dalam tenda pengungsian yang ditempati sejak Oktober 2018, 18 Juni 2016. (Foto: Yoanes Litha)
Uliyatin, (29), sedang menidurkan anaknya di ayunan di dalam tenda pengungsian yang ditempati sejak Oktober 2018, 18 Juni 2016. (Foto: Yoanes Litha)

Sambil menidurkan anaknya yang baru berusia 2 tahun di ayunan, Uliyatin yang berusia 29 tahun. menceritakan ia sudah tinggal di tenda hampir delapan bulan. Sebagaimana tenda-tenda lainnya, tenda yang ditinggali keluarga Uliyatin itu hanya terdiri dari satu ruang tengah yang dimanfaatkan untuk tidur di malam hari. Ruang tengah itu bercampur dengan pakaian, perabotan, khususnya kipas angin untuk mendinginkan suhu di dalam tenda yang selalu terasa panas. Bagian belakang tenda telah dimodifikasinya sehingga dapat berfungsi sebagai dapur untuk memasak dengan kompor minyak tanah.

“Banyak semut, ada lipan masuk, kadang panas. Kalau panas duduk di depan. Kalau bisa Huntaranya di percepat,” cerita Uliyatin, pengungsi asal Jono’oge saat ditemui di tenda tempat tinggalnya.

Hal serupa dialami Nurjanah (29) yang tinggal di tenda pengungsian bersama suaminya. Ia mengeluhkan terbatasnya sarana mandi cuci kakus (MCK). Dari lima kamar mandi, kini hanya tinggal dua unit yang digunakan untuk melayani kebutuhan 52 keluarga di tempat itu. Tentu saja dengan sarana MCK yang terbatas itu, para pengungsi harus antre lama untuk hajat besar maupun kecil.

“Iya, antre juga. Kadang lima menit, biasa satu jam. Karena banyak toh, WC cuma dua. Biasa orang ke rumput-rumput,” ungkap Nurjanah yang juga berasal dari desa Jono’oge, Kabupaten Sigi.

Target 52 Huntara Selesai Agustus Ini

Direktur Karitas PSE Keuskupan Manado, Pastor Clemens Joy Derry, mengatakan tambahan 52 unit Huntara yang ditargetkan selesai pada Agustus nanti diharapkan akan memungkinkan setiap keluarga yang terdampak bencana alam untuk meninggalkan tenda-tenda yang telah mereka tempati sejak Oktober lalu.

Tenda-tenda pengungsian di lokasi kamp Terpadu Desa Pombewe yang dihuni 50 keluarga terdampak bencana alam asal Desa Jono’oge, Kabupaten Sigi, Minggu, 16 Juni 2019. (Foto: Yoanes Litha/VOA)
Tenda-tenda pengungsian di lokasi kamp Terpadu Desa Pombewe yang dihuni 50 keluarga terdampak bencana alam asal Desa Jono’oge, Kabupaten Sigi, Minggu, 16 Juni 2019. (Foto: Yoanes Litha/VOA)

Rangka huntara terbuat dari baja ringan. Bangunan memiliki luas 4 x 5 meter, beratapkan metal, dinding bangunan terbuat dari Kalsiboard (papan dinding bangunan) dan berlantai beton. Setiap bangunan Huntara memiliki tiga pintu dan tiga jendela dengan satu kamar tidur serta jaringan listrik dengan daya 900 watt. Untuk kebutuhan sanitasi juga tersedia 8 unit sarana MCK, sementara untuk kebutuhan air bersih ada dua unit sumur bor yang dapat melayani kebutuhan 102 keluarga pengungsi.

“Dengan terbangunnya Huntara itu selekasnya mereka bisa pindah dari tenda-tenda ke hunian sementara supaya lebih layak. Karena sudah cukup lama mereka bergumul di tenda-tenda. Ada banyak lansia, ada banyak anak-anak, ada banyak balita,” tutur Pastor Clemens Joy Derry.

Lebih jauh Clemens Joy Derry mengatakan secara keseluruhan pihaknya membangun 400 unit Huntara dan Rumah Tumbuh. Rumah Tumbuh yaitu huntara yang dibangun di halaman rumah warga terdampak bencana alam – di desa Kalawara, Tuva, dan desa Boe di Kabupaten Sigi. Pembangunan Huntara dan Rumah Tumbuh itu diharapkan dapat membantu keluarga-keluarga yang rumah mereka rusak berat atau hilang akibat bencana alam.

“Kalau mau jalan ke lokasi-lokasi bencana itu selalu ada rasa sedih, rasa prihatin melihat warga itu masih banyak di tenda-tenda. Lantas kalaupun pergi ke rumah-rumah entah itu, di dalam kota maupun sampai di desa-desa itu, banyak masyarakat hidup di dalam rumah yang tidak layak huni,” kata Derry.

Nurjanah, 29, mencuci pakaian di luar tenda sambil memasak air minum untuk kebutuhan keluarganya, Selasa, 18 Juni 2019. (Foto:Yoanes Litha/VOA)
Nurjanah, 29, mencuci pakaian di luar tenda sambil memasak air minum untuk kebutuhan keluarganya, Selasa, 18 Juni 2019. (Foto:Yoanes Litha/VOA)

Warga Bersyukur

Mewakili warga lainnya sesama pengungsi yang masih tinggal di tenda-tenda berukuran 3 x 5 meter di tempat itu, Haris (38) mengatakan bisa tinggal di Huntara merupakan impiannya dan juga warga lain terdampak bencana likuifaksi.

“Kami sangat berterima kasih sudah dibangunkan Huntara. Walaupun istilahnya sudah lama baru ada, tapi kami sudah bersyukur sudah memiliki rumah yang layak dihuni daripada di tenda. Hujan apa segala macam sudah kami terima, jadi kami mau ke mana lagi, tempat tinggal sudah tidak ada,” tuturnya.

Bagi Haris, keberadaan Huntara yang sudah dapat ditempati pada Agustus mendatang itu dapat mengurangi beban pikirannya sebagai kepala keluarga untuk mencarikan tempat tinggal yang layak untuk ditinggali anak istrinya. Meskipun demikian ia berharap ada solusi bagi mereka untuk bisa mencari nafkah atau pendapatan tetap.

Haris mengatakan dampak likuifaksi juga membuat lahan sawah yang dulu menjadi sumber penghasilan keluarga telah hilang. Di lokasi pengungsian, para laki-laki yang rata-rata sebelum bencana bekerja sebagai petani, kini melakukan apa saja demi bisa mendapatkan uang untuk membiayai kebutuhan hidup keluarga, termasuk dengan menjadi kuli bangunan ataupun pengumpul besi tua.

“Jadi kami di sini bikin kegiatan biasa yang lainnya pergi cari besi. Yang lainnya pergi di bangunan minta-minta pekerjaan di bangunan, walaupun gajinya tidak seberapa. Itupun biasa cuma satu minggu gajian sudah tidak ada lagi. Gajinya 75 ribu per hari,” kata Haris dengan suara parau.

Suhu yang panas di dalam tenda membuat dua orang ibu dan anak-anak mereka beraktifitas di luar tenda pada siang hari, 18 Juni 2019.(Foto: Yoanes Litha/VOA)
Suhu yang panas di dalam tenda membuat dua orang ibu dan anak-anak mereka beraktifitas di luar tenda pada siang hari, 18 Juni 2019.(Foto: Yoanes Litha/VOA)

PMI: Masih Butuh 3.000 Unit Huntara

Agus Lamakarate, Ketua Palang Merah Indonesia Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah mengungkapkan sejauh ini setidaknya sudah terdapat 1.000 unit Huntara yang dibangun, baik oleh pemerintah maupun organisasi swadaya masyarakat. Namun masih diperlukan tiga ribu unit Huntara lagi untuk menampung ribuan keluarga terdampak bencana alam lalu. Lima ribu rumah rusak berat dan tidak lagi dapat ditempati akibat serangkaian bencana alam itu.

“Untuk di Kabupaten Sigi yang lain masih lima ribu-an lagi rumah-rumah yang tidak layak huni, rusak akibat bencana alam pada 28 September 2018. Belum lagi disusul dengan bencana banjir bandang di Kecamatan Dolo Selatan dan di daerah kecamatan Kulawi. Perkiraan itu kebutuhan pembangunan huntara- sekitar tiga ribuan,” ujar Agus Lamakarate di kompleks pengungsian PMI di desa Pombewe.

Kepedulian berbagai pihak untuk terlibat dalam pembangunan Huntara akan sangat berarti untuk memungkinkan keluarga-keluarga terdampak bencana alam yang hingga kini masih bertahan di dalam tenda-tenda mendapatkan tempat tinggal yang jauh lebih layak, aman dan nyaman.[yl/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG