Tautan-tautan Akses

Hari Pancasila, Ramai Seremoni Tapi Lupa Intoleransi


Berbagai kelompok agama memeriahkan parade "Bandung Rumah Bersama" yang digelar Sabtu, 15 Februari 2020. Nampak kelompok muslimah berkerudung dengan tema merah putih membawa bendera. (Foto: RIo Tuasikal/VOA)
Berbagai kelompok agama memeriahkan parade "Bandung Rumah Bersama" yang digelar Sabtu, 15 Februari 2020. Nampak kelompok muslimah berkerudung dengan tema merah putih membawa bendera. (Foto: RIo Tuasikal/VOA)

Hari Lahir Pancasila 1 Juni banyak diperingati dengan diskusi serta seminar kebangsaan. Namun di akar rumput, ada situasi yang menodai Pancasila dan luput dari perhatian.

Dalam sebuah webinar kebangsaan, Senin (1/6), Wakil Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. M. Solehuddin, mengakui Pancasila kerap diabaikan. Karena itu, pendidikan Pancasila harus dikaitkan dengan masalah di masyarakat, seperti intoleransi dan radikalisme.

Dia menekankan, ketika intoleransi dan radikalisme masih ada, Pancasila penting hadir untuk merekatkan persatuan bangsa.

“Pendidikan Pancasila ke depan Mesti kontekstual. Jadi meski esensinya atau kisahnya masa lampau, harus dihadirkan dengan era terkini supaya nyambung dengan dunia anak-anak kita,” pungkasnya dalam diskusi yang dihadiri 500 orang tersebut.

Webinar tersebut menghadirkan anggota DPR Netty Prasetiyani serta akademisi dari berbagai universitas di Bandung dan Semarang. Tak lupa, empat Wisesa Utama Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) atau trainer bela negara, hadir sebagai pembahas.

Solehudin menggarisbawahi, Pancasila jangan hanya dibahas di dalam forum-forum seremonial saja. Malahan Pancasila harus ditunjukkan sebagai teladan dalam kehidupan bermasyarakat. Di ranah pendidikan, siswa perlu dibiasakan untuk bertoleransi kepada sesama.

“Kegiatan siswa yang mendukung harus betul-betul diwujudkan. Bagaimana anak bisa toleran, punya kemampuan berempati kepada yang lain. Itu harus dilakukan dalam aksi-aksi nyata, tidak bisa dengan seminar saja atau dengan wacana saja,” tegasnya.

Jangan Lupa Intoleransi

Hari Pancasila tahun ini diperingati ketika kasus intoleransi masih terus terjadi. Bulan April kemarin, sebuah keluarga Kristen di Bekasi, Jawa Barat, yang mengikuti anjuran pemerintah untuk beribadah di rumah, malah didatangi warga. Alih-alih maju ke jalur hukum, kasus ini berakhir dengan mediasi polisi dan surat kesepakatan damai.

Dua puluhan siswa-siswi dari berbagai agama berkunjung ke GKP Kampung Sawah, Selasa, 30 April 2019. Dalam Wisata Toleransi Kampung Sawah, mereka mengunjungi 5 rumah ibadah dan mengenal ajaran agama yang berbeda. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)
Dua puluhan siswa-siswi dari berbagai agama berkunjung ke GKP Kampung Sawah, Selasa, 30 April 2019. Dalam Wisata Toleransi Kampung Sawah, mereka mengunjungi 5 rumah ibadah dan mengenal ajaran agama yang berbeda. (Foto: Rio Tuasikal/VOA)


Sementara di Kabupaten Tasikmalaya, sebuah masjid Ahmadiyah hampir ditutup oleh Pemda. Aksi Pemda tersebut mendapat kritik dari organisasi masyarakat sipil karena dinilai melanggar hak warga untuk menjalankan keyakinannya.

Organisasi pemerhati HAM SETARA Institute mencatat, pelanggaran atas kebebasan beragama dan keyakinan (KBB) terus terjadi. Selama pemerintahan Joko Widodo sejak 2014, terdapat 846 kasus intoleransi.

Pancasila Belum Dipraktikkan Pemerintah

Peneliti HAM dan perdamaian SETARA Institute, Selma Theofany, mengatakan pemerintah masih memperlakukan Pancasila sebagai konsep dan semboyan. Semangat keberagaman dalam Pancasila, ujarnya, belum diterapkan di kehidupan nyata.

“Pancasila masih disikapi sebagai konsep, karena semangat-semangat Pancasila belum diarusutamakan dalam sikap-sikap pemerintah, termasuk dalam menyikapi kebebasan beragama dan berkeyakinan,” tandasnya ketika dihubungi VOA.

Hari Pancasila, Ramai Seremoni Tapi Lupa Intoleransi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:35 0:00

Selma menggarisbawahi, Pancasila sebetulnya sudah hidup secara alami di masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari upaya gotong-royong yang menembus batas-batas agama, terutama saat wabah COVID-19.

"Dalam situasi ini, kita kembali diajak untuk berpikir bahwa Pancasila bukan sekadar simbol dan semboyan, melainkan prinsip dan pedoman berbangsa dan bernegara yang harus dihidupkan," tambah Selma.

Dia menyatakan, Hari Pancasila adalah momen yang tepat untuk merefleksikan situasi kebangsaan, termasuk intoleransi. Karena itu dia menyerukan semangat toleransi antar-umat beragama sebagai cara menghidupkan Pancasila.

“Relevansinya dengan sekarang adalah semangat kemanusiaan, penghormatan terhadap HAM, termasuk kebebasan beragama dan berkeyakinan. Memanusiakan orang lain dengan bertoleransi merupakan sikap yang tepat dalam menghidupkan Pancasila,” pungkasnya. [rt/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG