Tautan-tautan Akses

Hadapi Ancaman ISIS, Irak Digitalisasi Perpustakaan Nasional


Staf restorasi perpustakaan sedang menangani dokumen yang rusak di Perpustakaan Nasional Baghdad di Irak. 28 Juli 2015.
Staf restorasi perpustakaan sedang menangani dokumen yang rusak di Perpustakaan Nasional Baghdad di Irak. 28 Juli 2015.

Tumpukan buku dengan pencahayaan yang remang-remang di Perpustakaan Nasional Baghdad menyembunyikan harta karun selama berabad-abad: kertas-kertas yang lecek dan menguning yang menyimpan kisah nyata tentang sultan dan raja-raja; imperialis dan sosialis; penjajahan dan pembebasan; perang dan perdamaian.

Ini adalah catatan sejarah asli tentang sejarah Irak yang kaya dan penuh gejolak, dan kini para pustakawan dan akademisi di Baghdad bekerja keras untuk menjaga apa yang tersisa setelah ribuan dokumen hilang atau rusak akibat invasi yang dipimpin oleh ISIS.

Sementara militan ISIS bertekad menghancurkan sejarah dan budaya Irak, termasuk buku-buku dan manuskrip yang tidak tergantikan yang disimpan di kota yang dikuasai oleh militan, Mosul, proyek pelestarian dan digitalisasi besar sedang berlangsung di ibukota tersebut untuk melindungi sejarah selama ribuan tahun.

Di ruangan gelap di kantor perpustakaan tersebut, para pegawai menggunakan pencahayaan khusus untuk memfoto beberapa manuskrip yang paling berharga. Mazin Ibrahim Ismail, kepala departemen mikrofilm, mengatakan mereka menguji proses tersebut dengan dokumen dari Kementerian Dalam Negeri di bawah monarki terakhir Irak, Faisal II, yang berkuasa dari tahun 1939 sampai 1958.

“Begitu restorasi beberapa dokumen yang lebih tua dari era Turki Utsmaniyah, 200 hingga 250 tahun lalu, selesai, kita akan memulai memfoto dokumen tersebut ke mikrofilm," kata Ismail. Ia mengatakan arsip digital, yang tidak akan segera bisa diakses oleh publik, dibangun untuk memastikan kontennya bisa tetap terjaga walaupun menghadapi ancaman di masa yang akan datang.

Proses restorasi ini seperti bedah mikro, dan jenis kerusakan masing-masing dokumen adalah sebuah kisah, dan sebuah teka-teki. Beberapa manuskrip rusak akibat terlalu banyak dibaca dan menua; yang lainnya terbakar atau ternoda akibat serangan atau sabotase. Dan ada juga beberapa yang kemudian menjadi fosil, hasil gabungan kelembaban dan suhu yang menyengat, dan tampak seperti batu besar yang digali dari perut bumi.

“Itu adalah buku-buku yang paling sulit untuk dipulihkan," kata Fatma Khudair, pegawai senior dari departemen restorasi. “Kami menggunakan uap dengan alat khusus untuk mencoba melonggarkan dan memisahkan halaman-halamannya."

“Kadang-kadang, kami bisa menyelamatkan buku-buku tersebut dan kemudian menggunakan teknik restorasi lainnya, tapi dengan buku-buku lainnya, kerusakannya tidak bisa kita perbaiki," tambahnya.

Para teknisi mensterilkan manuskrip dan dokumen selama 48 jam, membersihkan dari debu-debu dan kotoran lain yang terakumulasi selama ini. Lalu, mereka membuka halaman demi halaman menggunakan tisu Jepang, kertas khusus untuk konservasi dan restorasi buku, untuk mengisi pinggiran buku yang robek atau melapisi dokumen yang lebih rapuh dengan lapisan tipis untuk membuatnya lebih tahan lama.

Perpustakaan Nasional Baghdad, yang dibangun oleh Inggris pada tahun 1920 lewat donasi dan diawasi pertama kali oleh pastor Katolik, telah berhasil melampaui pergolakan yang penuh kekerasan sebelumnya. Di awal pendudukan yang dipimpin oleh AS pada tahun 2003, ketika kekacauan mencekam ibukota tersebut, para oknum membakar perpustakaan tersebut, menghancurkan 25 persen koleksi bukunya dan sekitar 60 persen arsip, termasuk catatan-catatan dari era Turki Utsmaniyah. Arsip-arsip dari tahun 1977 sampai 2003 dibakar hingga menjadi abu. Arsip-arsip awal dari tahun 1920 sampai 1977, termasuk dokumen-dokumen penting Kementerian Dalam Negeri, disimpan di karung beras dan berhasil selamat dari kebakaran tersebut.

Jamal Abdel-Majeed Abdulkareem, direktur sementara perpustakaan Baghdad dan arsip di Perpustakaan Nasional Baghdad di Irak, 28 Juli 2015.
Jamal Abdel-Majeed Abdulkareem, direktur sementara perpustakaan Baghdad dan arsip di Perpustakaan Nasional Baghdad di Irak, 28 Juli 2015.

Dalam "invasi Irak, kami mempunyai lokasi alternatif untuk buku-buku dan dokumen-dokumen terpenting di Departemen Pariwisata,” kata Jamal Abdel-Majeed Abdulkareem, direktur sementara perpustakan dan arsip Baghdad. “Buku-buku dan dokumen yang penting saat itu terkena air karena kendaraan baja Amerika menghancurkan pipa air dan air membasahi materi budaya penting tersebut.”

Sekitar 400.000 dokumen, beberapa berasal dari periode Turki Utsmaniyah, dan 4.000 buku langka rusak ketika pipa tersebut rusak. Buku-buku tersebut termasuk arsip Ibrani yang berharga, yang sebagian besar kemudian dipindahkan ke Washington.

Satu tim ahli dari Library of Congress berkunjung ke Baghdad untuk membantu mengkaji kerusakan dan merekomendasikan membangun perpustakaan nasional baru. Lebih dari satu dekade kemudian, bangunan pengganti yang modern seluas 45.000 meter per segi yang dirancang oleh arsitek AMBS yang berbasis di London, dijadwalkan buka tahun depan.

Sampai perpustakaan tersebut dibuka tahun depan, Perpustakaan Nasional Baghdad mencoba membantu mereka yang berada di kawasan yang dilanda konflik menikmati dan mengapresiasi budaya Irak. Para pejabat perpustakaan mengatakan berbagi seni dan sastra Irak adalah kunci memerangi terorisme. Dalam beberapa bulan terakhir, perpustakaan tersebut mendonasikan sekitar 2.500 buku ke berbagai perpustakaan di provinsi Diyala, Irak, setelah tentara Irak menguasai kembali kota-kota di sana dari militan ISIS.

Para militan "ingin sejarah menceritakan pandangan mereka dan bukan apa yang sebenarnya terjadi," kata Abdulkareem. “Jadi ketika sebuah daerah bebas, kami mengirimkan buku untuk menggantikan apapun yang dicuri atau dihancurkan, tapi juga agar warga Irak di daerah ini bisa mengakses materi-materi ini agar bisa merasa bangga atas budaya mereka yang kaya."

XS
SM
MD
LG