Tautan-tautan Akses

Empat Perempuan, Sebagian “Berdarah Biru,” Rela Jadi Guru


Guru Inggit Andini, kanan, mengajar di kelas darurat bagi siswa yang tidak memiliki akses internet untuk belajar online, di Tangerang, 10 Agustus 2020, sebagai ilustrasi. Empat perempuan, yang sebagian termasuk "berdarah biru" memilih menjadi guru. (Foto: AP)
Guru Inggit Andini, kanan, mengajar di kelas darurat bagi siswa yang tidak memiliki akses internet untuk belajar online, di Tangerang, 10 Agustus 2020, sebagai ilustrasi. Empat perempuan, yang sebagian termasuk "berdarah biru" memilih menjadi guru. (Foto: AP)

Empat perempuan, yang sebagian termasuk "berdarah biru" atau golongan bangsawan, mencatat sejarah dengan mendobrak tradisi demi edukasi, emansipasi, dan toleransi.

Roehana Koeddoes, tokoh perempuan asal Sumatera Barat, dikenal sebagai wartawan perempuan pertama di Indonesia. Uni Roehana selain piawai menulis juga memiliki kemampuan berbahasa asing. Yefri Heriani yang pernah menjabat Direktur Women Crisis Center Nurani Perempuan menjelaskan bagaimana tradisi di kampung halaman Roehana, yang ketika itu memprioritaskan pendidikan semata bagi kaum laki-laki. Meski mengenyam pendidikan informal, ungkap Yefri – yang saat ini menjabat Ketua Ombudsman Sumatera Barat – Roehana pada tahun 1911 mampu membentuk sekolah Amai Setia. "Perempuan di daerah masa itu, keluar rumah saja sulit, mencari jodoh dari luar daerah dilarang, istri ikut suami merantau juga dilarang, bagaimana perempuan bisa mengenyam sekolah. Pendidkan saat itu diprioritaskan untuk anak laki-laki,” ujar Yefri.

Tokoh perempuan asal Sumatera Barat, Roehana Koeddoes, mendirikan sekolah perempuan Amai Setia menjadi materi diskusi daring tentang Perempuan dan Pendidikan, Selasa (28/12), dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)
Tokoh perempuan asal Sumatera Barat, Roehana Koeddoes, mendirikan sekolah perempuan Amai Setia menjadi materi diskusi daring tentang Perempuan dan Pendidikan, Selasa (28/12), dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

Lebih lanjut Yefri memaparkan faktor orang tua Roehana, yang termasuk golongan bangsawan dan pejabat di masa itu, yang memberi Roehana muda akses pendidikan informal, meskipun terbatas. Ayah Roehana memiliki koleksi buku bahasa asing dan berlangganan surat kabar. Kemampuan baca tulis diperoleh dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Meski mengalami masalah pendanaan, Roehana Koeddoes tetap bersikukuh mendirikan sekolah.

"Sumbangan sukarela yang didapat Roehana dari murid-muridnya digunakan untuk kepentingan sekolah. Roehana prihatin dengan kondisi perempuan di daerahnya. Roehana ingin mengubah pola pikir masyarakatnya banyak laki-laki memiliki berpendidikan tinggi namun tidak memberikan perhatian dan kesempatan kepada perempuan untuk memperoleh pendidikan yang adil,” ujar Yefri.

Seorang guru menggulung sebagian tenda UNICEF sebagai siswa belajar di sekolah mereka setelah dibuka kembali untuk kelas setelah gempa bumi Padang, Sumatera Barat, 5 Oktober 2009. (Foto: Reuters/Dadang Tri)
Seorang guru menggulung sebagian tenda UNICEF sebagai siswa belajar di sekolah mereka setelah dibuka kembali untuk kelas setelah gempa bumi Padang, Sumatera Barat, 5 Oktober 2009. (Foto: Reuters/Dadang Tri)

Mendidik Moral dan Etika

Tak hanya Roehana, seorang tokoh perempuan asal Jawa Barat, Raden Dewi Sartika, juga menjadi contoh perempuan yang menjunjung tinggi pendidikan.

Pengurus Yayasan Ahli Waris Pahlawan Nasional Raden Dewi Sartika (AWIKA), Kenny Dewi, mengungkapkan bagaimana nenek buyutnya itu sangat mendorong perempuan di masanya mengenyam pendidikan. Dewi Sartika yang juga berasal dari keluarga bangsawan kemudian mendirikan Sakola Kautamaan Istri di tahun 1904 secara diam-diam agar tidak diketahui pemerintah kolonial Belanda.

Tokoh perempuan asal Jawa Barat, Raden Dewi Sartika, mendirikan Sakola Kautamaan Istri menjadi materi diskusi daring tentang Perempuan dan Pendidikan, Selasa (28/12), dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Yudha Satriawan)
Tokoh perempuan asal Jawa Barat, Raden Dewi Sartika, mendirikan Sakola Kautamaan Istri menjadi materi diskusi daring tentang Perempuan dan Pendidikan, Selasa (28/12), dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Yudha Satriawan)

"Raden Dewi Sartika berprinsip cageur (sehat), bageur (baik hati), bener, pinter, dan singer (kreatif). Dasar pendidikan bagi perempuan harus serba bisa,” jelas Kenny.

Kenny menambahkan pendidikan yang dikelola Raden Dewi Sartika itu tidak hanya membaca dan menulis, tetapi juga mengajarkan moral, empati, dan etika.

Sementara itu, tokoh perempuan Hindu asal Bali, Gedong Bagoes Oka, dikenal dengan membuka sekolah yang terinspirasi perjuangan tokoh nasional India, Mahatma Gandhi. Cucu Gedong Bagoes Oka, Isyana Bagoes Oka, menjelaskan bahwa neneknya memilih menjalani profesi guru meski memiliki potensi menjadi dokter. Menurut Isyana, neneknya memilih di jalur pendidikan dan politik. "Nenek itu punya kemampuan dan kemauan memilih sebagai dokter namun karena kondisi, akhirnya memilih jalur pendidikan dan karir politik. Sebagai tokoh perempuan Bali,” ungkap Isyana.

Isyana menjelaskan neneknya itu menapaki jalur politik sebagai anggota MPR dari utusan golongan tahun 1999–2002.

Tak kalah menariknya kisah perempuan dari wilayah timur Indonesia yang juga aktif dalam dunia pendidikan. Ia adalah Maria Josephine Walanda Maramis, tokoh perjuangan asal Minahasa Sulawesi Utara. Pengurus Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, Ruth Ketsia Wangkai, perempuan tangguh itu pada tahun 1917 mendirikan sekolah bernama Pertjintaan Iboe Kepada Anak Temurunnja atau PIKAT, yang hingga saat ini masih berjalan dan beralih nama menjadi Huize Maria dalam bentuk sekolah perempuan berasrama.

Empat Perempuan, Sebagian “Berdarah Biru,” Rela Jadi Guru
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:03:01 0:00

"Maria Walanda Maramis perempuan Minahasa persilangan ragam peradaban. Walanda tampil sebagai perempuan memperjuangkan keadilan gender, penghapusan kelas sosial kultural dengan menyediakan sekolah perempuan,” tegas Ruth.

Empat tokoh perempuan ini dikupas tuntas dalam webinar “Perempuan dan Pendidikan: Roehana Koeddoes, Raden Dewi Sartika, Gedong Bagoes Oka, dan Walanda Maramis,” pada Selasa (29/12). Keempatnya dinilai istimewa karena tak surut langkah memperjuangkan pendidikan, emansipasi dan toleransi.

Henny Supolo dari Yayasan Cahaya Guru saat memberikan materi tentang Perempuan dan Pendidikan secara daring, Selasa (28/12) dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)
Henny Supolo dari Yayasan Cahaya Guru saat memberikan materi tentang Perempuan dan Pendidikan secara daring, Selasa (28/12) dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/ Yudha Satriawan)

Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo mengatakan keempat perempuan ini mengajarkan kemandirian dalam perjuangannya. “Sosok empat perempuan ini menunjukkan persamaan dalam hal semangat memajukan pendidikan dan kemandirian perempuan,” tutur Henny. [ys/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG