Tautan-tautan Akses

Emisi CO2 Global dari Bahan Bakar Fosil Cetak Rekor pada 2023


Sebuah pembangkit listrik tenaga batu bara mengepulkan asap yang menyebabkan polusi udara pada 17 November 2021, di Colorado, AS. (Foto: AP)
Sebuah pembangkit listrik tenaga batu bara mengepulkan asap yang menyebabkan polusi udara pada 17 November 2021, di Colorado, AS. (Foto: AP)

Emisi karbon dioksida (CO2) global dari pembakaran bahan bakar fosil diperkirakan akan mencatatkan angka rekor pada tahun ini. Para ilmuwan mengatakan hal tersebut akan memperburuk perubahan iklim dan memicu cuaca ekstrem yang lebih merusak.

Laporan Anggaran Karbon Global, dirilis pada Selasa (5/12) saat KTT Iklim COP28, menyatakan bahwa meskipun mencapai rekor tertinggi pada tahun lalu, emisi CO2 secara keseluruhan mencapai titik stabil pada 2023 karena adanya sedikit penurunan penggunaan lahan seperti deforestasi.

Negara-negara diperkirakan akan mengeluarkan total 36,8 miliar metrik ton CO2 dari bahan bakar fosil pada 2023, meningkat 1,1 persen dari tahun lalu, demikian kesimpulan laporan para ilmuwan dari lebih dari 90 institusi termasuk Universitas Exeter.

Jika emisi penggunaan lahan diperhitungkan, maka total emisi CO2 global diperkirakan mencapai 40,9 miliar ton pada tahun ini.

Suar yang membakar metana dari produksi minyak, 26 Agustus 2021. (Foto: AP)
Suar yang membakar metana dari produksi minyak, 26 Agustus 2021. (Foto: AP)

Emisi batu bara, minyak mentah dan gas semuanya meningkat, didorong oleh konsumsi India dan China. Peningkatan penggunaan bahan bakar fosil di China dipicu oleh pembukaan kembali perekonomiannya setelah lockdown akibat COVID-19, sedangkan naiknya penggunaan di India disebabkan oleh pertumbuhan permintaan listrik yang lebih cepat dibandingkan kapasitas energi terbarukan di negara tersebut. Akibatnya, bahan bakar fosil harus menutupi kekurangan tersebut.

Jalur emisi pada tahun ini menjauhkan dunia dari upaya pencegahan pemanasan global melebihi 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

“Sekarang tampaknya kita akan melampaui target 1,5 derajat Celsius dalam Perjanjian Paris,” kata Profesor Pierre Friedlingstein dari Exeter, yang memimpin penelitian tersebut.

Negara-negara sepakat dalam Perjanjian Paris 2015 untuk menjaga suhu pemanasan global di bawah 2 derajat Celsius dan menargetkan 1,5 derajat Celsius. Para ilmuwan mengatakan kenaikan suhu lebih dari 1,5 derajat Celcius akan menimbulkan dampak yang lebih parah dan tidak dapat diubah lagi, termasuk suhu panas yang mematikan, bencana banjir, dan kematian terumbu karang.

Asap dan uap mengepul dari pabrik pengolahan batu bara di Hejin di Provinsi Shanxi, China tengah. (Foto: AP)
Asap dan uap mengepul dari pabrik pengolahan batu bara di Hejin di Provinsi Shanxi, China tengah. (Foto: AP)

“Pertemuan para pemimpin di COP28 harus menyetujui pengurangan emisi bahan bakar fosil secara cepat bahkan untuk menjaga target 2 derajat Celsius tetap jalan,” kata Friedlingstein.

IPCC, panel ilmu iklim PBB, mengatakan emisi dunia harus turun 43 persen pada 2030, untuk mempertahankan batas 1,5 derajat Celsius.

Sebaliknya, tingkat emisi menjadi lebih tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Pandemi COVID-19 menyebabkan penurunan singkat dalam tren tersebut. Namun, emisi kini kembali naik hingga 1,4 persen di atas tingkat pra-COVID.

Para peneliti dari Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang berbasis di Helsinki mengatakan pada bulan lalu bahwa emisi rumah kaca China bisa mulai mengalami “penurunan struktural” setidaknya pada awal tahun depan karena instalasi energi terbarukan di negara itu yang mencapai rekor tertinggi.

China menghasilkan 31 persen emisi CO2 bahan bakar fosil global.

Laporan baru tersebut mencatat beberapa hal positif, yaitu menurunnya kadar emisi di Amerika Serikat dan Uni Eropa, sebagian disebabkan oleh pensiunnya pembangkit listrik batu bara.

Secara keseluruhan, 26 negara yang mewakili 28 persen emisi dunia kini berada dalam tren penurunan. Sebagian besar berada di Eropa, kata para peneliti. [ah/rs]

Forum

XS
SM
MD
LG