Tautan-tautan Akses

'Efek Jokowi', Bagaimana Pengaruh Presiden pada Pemilihan Penggantinya


Foto Presiden Joko Widodo (kanan), berjabat tangan dengan Menteri Pertahanan dan calon presiden Prabowo Subianto, ditampilkan di layar lebar saat kampanye di Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta, Sabtu, 10 Februari 2024. (AP/Dita Alangkara)
Foto Presiden Joko Widodo (kanan), berjabat tangan dengan Menteri Pertahanan dan calon presiden Prabowo Subianto, ditampilkan di layar lebar saat kampanye di Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta, Sabtu, 10 Februari 2024. (AP/Dita Alangkara)

Namanya tidak tercantum dalam surat suara, namun Presiden Joko Widodo (Jokowi), tampak menonjol pada pemilu yang akan digelar pada Rabu (14/2) di Tanah Air, dan tidak terkecuali di provinsi asalnya, Jawa Tengah.

Poster-poster kampanye yang terpampang di sepanjang tepi sungai di ibu kota provinsi Jawa Tengah, Semarang, bertuliskan “Jokowi Memilih Gerindra” yang merujuk bukan pada partai politik presiden sendiri, melainkan partai saingannya yang dipimpin Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto.

Jokowi secara resmi belum mendukung siapa pun dalam pencalonan untuk menggantikannya, namun status putranya sebagai pasangan calon wakil presiden secara luas dianggap sebagai tanda persetujuan presiden.

Setelah menjabat selama dua periode, Jokowi akan menyelesaikan tugas pada Oktober, namun dengan tingkat persetujuan sebesar 80 persen, dia memegang kendali besar atas 205 juta pemilih di Indonesia.

Prabowo, yang kalah dari Jokowi dalam dua pemilihan presiden terakhir, kali ini unggul, dan para analis menilai dukungan yang diberikan oleh petahana, sebuah fenomena yang oleh sebagian orang disebut sebagai “efek Jokowi.”

Dampaknya terutama terlihat di Jawa Tengah, di mana mantan Gubernur Ganjar Pranowo yang pernah dipandang sebagai penerus alami Jokowi, kini kehilangan keunggulan dalam hal popularitas.

Titik balik terjadi ketika Prabowo mencalonkan putra Jokowi yang berusia 36 tahun, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon presiden, kata Kennedy Muslim, seorang analis dari lembaga jajak pendapat Indikator Politik.

“Manuver tunggal ini telah membuahkan hasil yang besar dalam jajak pendapat selama tiga bulan terakhir dalam meningkatkan dukungan terhadap Prabowo,” kata Muslim, seraya menggambarkan “migrasi drastis loyalis Jokowi.”

Tidak jelas apakah keunggulan dua digit Prabowo atas Ganjar dan mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan akan menghasilkan lebih dari 50 persen suara yang diperlukan untuk menghindari pemilihan putaran kedua, meskipun jajak pendapat baru-baru ini menempatkannya pada posisi yang kuat.

Setahun yang lalu, kandidat terdepan dalam pemilu ini adalah Ganjar yang fotogenik. Jokowi dan Ganjar adalah anggota Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) yang dipimpin oleh Megawati. Kisah Ganjar diharapkan mencerminkan perjalanannya dari seorang gubernur pekerja keras di Jawa Tengah, menjadi pemimpin ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, gambaran tersebut berubah secara radikal. Jokowi tampak semakin dekat dengan Prabowo di tengah berbagai laporan mengenai keretakan hubungan antara presiden dan Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarnoputri.

“Darah Lebih Kental Dari Partai”

Sejak Prabowo secara kontroversial menunjuk putra Jokowi sebagai cawapresnya pada bulan Oktober, rating Ganjar di Jawa telah anjlok 30 poin menjadi 38 persen dari 68 persen, sementara popularitas Prabowo kini telah melampaui popularitas Ganjar.

FILE - Foto kombo capres Indonesia, dari kiri, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. (AP)
FILE - Foto kombo capres Indonesia, dari kiri, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo. (AP)

Turunnya angka jajak pendapat Ganjar secara tiba-tiba, bahkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga karena ‘efek Jokowi’ ini, kata Muslim. “(Ini) menunjukkan betapa kuat dan penting pengaruh Jokowi… kingmaker utama,” kata dia.

“Darah lebih kental daripada partai politik,” kata Sudaryono, ketua pengurus partai Gerindra di Jawa Tengah.

Agus, 50 tahun, yang mengelola sebuah kios pasar di Semarang, mengatakan: “Ketika orang melihat Gibran, mereka melihat Jokowi. Jika Gibran tidak ada di sana, pasti (popularitas) Prabowo akan turun.”

Tidak dapat disangkal bahwa Prabowo telah menjalankan kampanye yang cerdas, menukar retorika nasionalisnya dengan tarian yang lucu dan mengadopsi julukan “gemoy,” yang berarti lucu dan menggemaskan.

Balon 'gemoy' capres Prabowo Subianto (kiri) dan pasangannya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Indonesia Joko Widodo, dipajang saat kampanye di Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta, 10 Februari 2024. (AP/Achmad Ibrahim)
Balon 'gemoy' capres Prabowo Subianto (kiri) dan pasangannya Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Indonesia Joko Widodo, dipajang saat kampanye di Stadion Utama Gelora Bung Karno di Jakarta, 10 Februari 2024. (AP/Achmad Ibrahim)

Pada kampanye mirip karnaval di kota Tegal, Jawa Tengah yang lengkap dengan pentas musik, dan door prize, ratusan penggemar dengan kemeja biru muda yang menampilkan avatar AI milik Prabowo, menghadiri acara itu di bawah terik matahari.

“Saya suka program makanan gratis untuk anak-anak sekolah,” kata Isnaeni, ibu dua anak berusia 28 tahun, “Prabowo mencintai masyarakat.”

Meskipun demikian, dukungan implisit Jokowi sangat penting, kata analis Kevin O'Rourke.

“Jokowi telah menjadi faktor yang sangat besar. Sebagian besar penyebabnya adalah dia. Dan dia punya formula yang membuatnya populer: inflasi yang rendah, belanja layanan sosial dan pembangunan infrastruktur, serta watak yang disukai orang,” katanya.

Ubah cinta menjadi suara

Para pengamat telah menunjukkan kemerosotan demokrasi yang mengkhawatirkan di Indonesia, namun dugaan masa lalu yang kelam dan kritikan terhadap politik dinasti yang dilancarkan terhadap Prabowo tampaknya tidak terlalu menjadi masalah di kalangan akar rumput, di mana jutaan orang mengidentifikasi diri mereka dengan kepribadian Jokowi yang dianggap rendah hati dan memiliki perhatian pada rakyat jelata di Indonesia.

Ketika Mahkamah Konstitusi, yang saat itu dipimpin oleh saudara ipar presiden, mengubah aturan batas usia yang memungkinkan Gibran mencalonkan diri sebagai wakil presiden, protes di dunia maya tidak memicu protes massal di jalanan.

Dalam sebulan terakhir, Jokowi telah melakukan perjalanan ke Jawa Tengah sedikitnya tiga kali untuk mendistribusikan bantuan pupuk, beras, dan uang tunai, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang netralitasnya.

“Ini belanja untuk memberi manfaat bagi konstituen sebagai imbalan atas dukungan politik mereka,” kata Nur Hidayat Sardini, dosen Universitas Dipenogoro Semarang. “Bantuan sosialnya sangat besar.”

Dampaknya pada kampanye Ganjar, keluh Bambang Wuryanto dari PDI-P, seperti “bom besar.”

Pemerintah membantah ada kandidat yang mendapat manfaat dari program bantuan sosial. Kantor kepresidenan belum menanggapi pertanyaan mengenai keluhan netralitas tersebut.

Sudaryono, Ketua Gerindra Jawa Tengah, mengatakan tugasnya adalah untuk “mengubah rasa cinta menjadi suara.” Dia menambahkan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang tertarik pada janji menteri pertahanan mengenai “kesinambungan” kebijakan Jokowi.

Namun para analis mengatakan kesinambungan seperti itu masih jauh dari jaminan. “Sebagian besar kekuasaan berada di tangan presiden,” kata O'Rourke. “Dan pada tanggal 20 Oktober hal itu akan berubah, dan Joko Widodo akan keluar kekuasaannya.” [lt/ns]

Forum

XS
SM
MD
LG