Tautan-tautan Akses

Dengar Pendapat Penyelidikan Pemakzulan, 4 Pakar Hukum AS Beri Kesaksian di DPR


Empat pakar hukum dari kalangan akademisi memberi kesaksiaan dalam dengar pendapat penyelidikan pemakzulan Trump di Kongres AS, Rabu (4/12).
Empat pakar hukum dari kalangan akademisi memberi kesaksiaan dalam dengar pendapat penyelidikan pemakzulan Trump di Kongres AS, Rabu (4/12).

Empat pakar hukum hari Rabu (4/12) memberi kesaksian di Kongres tentang apa yang dimaksud oleh para pendiri Amerika ketika menetapkan bagaimana memakzulkan dan memecat seorang presiden dari jabatannya.

Faksi Demokrat yang menjadi mayoritas di Komite Kehakiman DPR memanggil tiga pakar hukum, yaitu Prof. Noah Feldman dari Universitas Harvard, Prof. Pamela Karlan dari Universitas Stanford, dan Prof. Michael Gerhardt dari Universitas North Carolina untuk membahas kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden Donald Trump yang menekan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy untuk menyelidiki Joe Biden, mantan wakil presiden dan kandidat calon presiden Partai Demokrat dalam pemilu presiden tahun 2020; dan putranya Hunter Biden yang bekerja untuk sebuah perusahaan gas alam. Juga untuk membahas teori yang sudah dibantah bahwa Ukraina – bukan Rusia – yang melakukan campur tangan dalam pemilu presiden Amerika tahun 2016.

Pakar Hukum Konstitusi: Tidak Seorang Pun Kebal Hukum

Dalam pernyataan pembukaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya, Gerhardt mengatakan “jika Kongres gagal melakukan pemakzulan, maka seluruh proses pemakzulan kehilangan makna, dan bersamaan

dengan itu, akan juga hilang aturan dalam Konstitusi yang melarang adanya raja di Amerika. Tidak seorang pun, termasuk presiden, yang berada di luar jangkauan hukum dan konstitusi kita.”

Faksi Republik Nilai Tidak Ada Quid Pro Quo

Faksi Republik yang membela Trump memanggil seorang pakar hukum lain, yaitu Prof. Jonathan Turley dari Universitas George Washington untuk mendukung pandangan mereka bahwa Trump tidak melakukan kesalahan ketika meminta Ukraina untuk melakukan penyelidikan terhadap Joe dan Hunter Biden, dan pada saat yang sama menahan bantuan militer bernilai 391 juta dolar yang diperlukan Ukraina untuk melawan kelompok separatis pro-Rusia di bagian timur Ukraina.

Prof. Jonathan Turley, pakar hukum konstitusi dari George Washington University memberi kesaksian di Kongres AS, Rabu (4/12).
Prof. Jonathan Turley, pakar hukum konstitusi dari George Washington University memberi kesaksian di Kongres AS, Rabu (4/12).

Trump akhirnya mengirim bantuan militer itu September lalu tanpa penyelidikan yang dimintanya, hal yang menurut faksi Republik membuktikan bahwa tidak ada “quid pro quo” atau “imbal balik” di antara Trump dan Ukraina.

Trump, Presiden AS Keempat yang Hadapi Proses Pemakzulan

Berdasarkan Konstitusi Amerika, seorang presiden dapat dimakzulkan dan diberhentikan dari jabatannya karena melakukan “pengkhianatan, penyuapan atau atau kejahatan berat dan pelanggaran ringan lainnya,” tetapi sepanjang sejarah 243 tahun Amerika, definisi terminologi itu diserahkan kepada para pembuat undang-undang.

Trump adalah presiden keempat yang menghadapi proses pemakzulan resmi. Dua mantan presiden sebelumnya dimakzulkan tetapi tidak dihukum oleh Senat dan tidak dipecat dari jabatannya. Sementara yang ketiga mengundurkan diri ketika menghadapi pemakzulan. Banyak pakar hukum yakin penyalahgunaan jabatan dan menghalang-halangi upaya mencari keadilan juga merupakan pelanggaran yang diancam pemakzulan, tetapi Konstitusi Amerika tidak menyebut pelanggaran semacam itu.

Trump Serang Upaya Pemakzulan Dirinya

Trump telah menyerang upaya pemakzulan yang menargetnya, dengan mengatakan ia tidak bersalah ketika meminta Ukraina melakukan penyelidikan yang menguntungkannya secara politik. Meskipun sedang berada di London, Inggris, untuk mengikuti KTT NATO, kampanye politiknya mengeluhkan sidang dengar pendapat hari Rabu dengan mencuit bahwa “Demokrat mengajukan TIGA pakar hukum dan Republik hanya mengajukan SATU!” Ditambahkannya, “seluruh proses ini tidak adil, tidak hanya terhadap @realDonaldTrump, tetapi juga Rakyat Amerika!”

Kesaksian baru ini hanya berselang sehari setelah Komite Intelijen DPR yang dikuasai faksi Demokrat merilis laporan setebal 300 halaman, yang menuduh Presiden Trump telah melakukan “pelanggaran” dengan minta campur tangan politik Ukraina dalam pemilu presiden 2020 dan kemudian secara tanpa henti berupaya “menghalangi” Kongres ketika mempertanyakan tindakan-tindakannya.

Penyelidikan pemakzulan selama hampir tiga bulan ini “mendapati bahwa Presiden Trump, baik secara pribadi maupun lewat agen-agen di dalam dan luar pemerintah Amerika, telah meminta campur tangan negara asing, yaitu Ukraina, agar terpilih kembali dalam pemilu,” demikian petikan laporan tersebut.

“Dengan melakukan hal itu, presiden telah menempatkan kepentingan pribadi dan politiknya di atas kepentingan nasional Amerika, berupaya merongrong integritas proses pemilihan presiden Amerika, dan membahayakan keamanan nasional Amerika,” tambah laporan itu.

Faksi Republik Nilai Tak Ada Alasan untuk Makzulkan Trump

Pemimpin faksi Republik di DPR yang juga pembela Trump, Kevin McCarthy membantah klaim tersebut dengan mengatakan “faksi Demokrat di DPR telah mencoba membatalkan hasil pemilihan presiden bersejarah yang memenangkan Trump sejak sebelum ia dilantik.” Ditambahkannya, faksi Demokrat tidak menemukan “satu alasan sah apapun” untuk melakukan pemakzulan tersebut.

‘’Sebaliknya faksi Demokrat mengandalkan desas-desus dan anggapan bahwa Trump bersalah untuk membangun narasi palsu mereka,” tegasnya. (em/ii)

XS
SM
MD
LG